• 25 April 2024

Manisnya Kelapa Kopyor Kultur Jaringan

uploads/news/2019/12/manisnya-kelapa-kopyor-kultur-32700e9e92e9e9f.jpeg

 

Penelitian mengenai kelapa kopyor dengan metode kultur jaringan merupakan hal pertama kali di dunia.

JAKARTA - Bila seorang profesor biasanya dikukuhkan di dalam ruangan gedung ber-AC oleh universitas yang menaunginya, namun berbeda apa yang dilakukan Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP). Universitas yang berlokasi di Kecamatan Kembaran, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, ini memilih untuk mengukuhkan Profesor Sisunandar sebagai Guru Besar Fakultas Keguruan dan Ilmu Kependidikan, Program Studi Pendidikan Biologi di Kebun Plasma Nutfah Kelapa Kopyor di Science Techno Park UMP.

Dalam pengukuhan itu, hadir Wakil Ketua Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof. Chairil Anwar; Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah VI Jawa Tengah, Prof. Dwi Yuwono Puji Sugiharto; Bupati Banyumas, Achmad Husein; Rektor UMP, Anjar Nugroho; Senat Kehormatan sekaligus Direktur CIRAD, Prof. Alain Rival dari Prancis; Wakil Rektor I, II, III, dan IV, serta jajaran senat UMP.

Menurut Rektor UMP, Anjar Nugroho, Prof. Sisunandar merupakan guru besar ketujuh UMP. Menurutnya, saat ini UMP memiliki 18 calon profesor dan tiga diantaranya akan dikukuhkan pada 2020 mendatang. Anjar juga mengatakan, tempat pengukuhan yaitu kebun plasma nutfah kelapa kopyor yang memiliki lahan seluas lima hektare milik UMP memiliki berbagai macam varietas kelapa yang akan dikembangkan.

“Pengukuhan kali ini sangat unik karena dilakukan di kebun. Kami ingin mengajak para hadirin untuk melihat secara langsung karya Prof Sisunandar berupa kelapa kopyor yang ditanam di kebun kelapa milik Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Insya Allah ini yang paling lengkap jenis-jenis kelapa dari berbagai daerah dan insya Allah ini adalah representasi jenis-jenis kelapa yang ada di Indonesia yang dikopyorkan oleh Prof. Sisunandar,” katanya, Sabtu (14/12).

Dalam pengukuhannya tersebut, Prof. Sisunandar mengatakan dalam penelitiannya berjudul “Kultur Jaringan Tumbuhan untuk Konservasi dan Produksi Benih Unggul Tanaman Perkebunan: dari Laboratorium ke Industri”. Ia mengatakan, saat ini Indonesia dianugerahi oleh Allah SWT dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia setelah Brazil. Sebanyak 12% spesies mamalia, 16% spesies reptil dan amfibi, 17% spesies burung, dan 14% spesies ikan yang ada di dunia, hidup dan berkembangbiak di Indonesia. Sedangkan tumbuhan berbunga, Indonesia merupakan rumah bagi 11% atau sekitar 25.000 spesies, di mana lebih dari setengahnya merupakan tanaman asli Indonesia.

Baca juga: Jangan Tebang Pohon Manggis Tua!

“Indonesia saat ini dikenal sebagai negara terbesar penghasil kelapa di dunia, tapi mayoritas petani kelapa masih hidup di bawah garis kemiskinan. Hampir tiga juta petani kelapa di Indonesia (96%) memiliki lahan kurang dari setengah hektare yang ditanami kelapa kurang dari 100 pohon,” ungkapnya.

Dirinya juga mengatakan, fasilitas, sarana, dan prasarana yang dibutuhkan untuk mengembangkan kompetensi masing-masing di UMP saat ini sudah sangat memadai. Menurutnya, fasilitas laboratorium yang dimiliki UMP sangat baik dan modern, teknologi informasi juga dapat diakses dengan mudah.

“Terima kasih banyak atas kontribusi pada supplier peralatan laboratorium yang telah membantu mewujudkan hal ini. Sungguh fasilitas yang dimiliki oleh UMP saat ini sangat jauh lebih baik kualitasnya dibandingkan ketika saya memulai karier sebagai dosen di UMP tahun 1992,” katanya.

Prof. Sisunandar pun mengajak kepada para mahasiswa dan dosen muda yang berkiprah di bidang ilmu biologi, pertanian, maupun perkebunan di lingkungan UMP untuk terus mengembangkan riset dan inovasinya.

“Tidak ada alasan lagi bagi kita sivitas akademika Universitas Muhammadiyah Purwokerto untuk tidak berinovasi dan memberi konstribusi agar Indonesia menjadi lebih baik lagi di masa mendatang,” imbuhnya.

Pertama di Dunia

Perjuangan Sisunandar dalam mendapatkan gelar profesor bisa dibilang cukup lama. Ia harus melakukan penelitian panjang mengenai kultur jaringan (tissue culture) kelapa sejak 2004 atau 15 tahun silam. Dalam penelitiannya itu, ia berhasil membuat kelapa kopyor yang memiliki rasa manis dan daging buah yang agak krispi atau tidak lembek seperti kelapa mudah.

Pada salah satu pohon yang berhasil ia kembangkan, pohon tersebut berumur sekitar empat tahun, tapi tingginya kurang dari dua meter. Sehingga untuk memanennya, tidak perlu memanjat, cukup berdiri dan langsung mengambil buahnya. Buahnya lebih kecil jika dibandingkan buah kelapa umumnya dengan warga kulitnya yang hijau.

Selain itu, seluruh kelapa yang dipanen di kebun Science Techno Park UMP itu seluruhnya merupakan kelapa kopyor. Itu tak lepas dari pembibitan yang harus melalui proses kultur jaringan. Penelitian yang ia lakukan sejak 2004 itu melalui riset yang cukup panjang. Riset pun semakin mendalam saat Sisunandar menempuh pendidikan doktoralnya di University of Queensland, Australia pada 2008, dengan risetnya berjudul Cryopreservation fot germplasm conservation of coconut (Cocos rucifera L).

Sekembalinya dari Australia dan sudah menyandang gelar doktor bidang biologi sel dan bioteknologi tumbuhan, ia semakin semangat mengembangkan penelitian pembibitan kelapa kopyor melalui kultur jaringan. Pada 2012 atau empat tahun penelitian sejak 2008, Sisunandar mulai mendapatkan hasil yang memuaskan. Ia mampu membibitkan kelapa kopyor melalui kultur jaringan.

Baca juga: Sukses Budidaya Tabebuya ala Surabaya

Dirinya mengkulturkan embrio dengan dengan teknik ‘mini growth chamber’ yaitu menginduksi akar dan mengadaptasi benih kelapa kopyor hasil kultur jaringan secara langsung. Tingkat keberhasilannya pun mencapai 90% dengan metode ‘ex vitro rooting’.

“Dengan metode tersebut, ternyata mampu berhasil mengadaptasi benih yang berasal dari empat kultur kelapa secara langsung dengan keberhasilan tinggi. Baik benih tanpa akar maupun bibit yang telah memiliki akar mampu berhasil diaklimatisasikan,” jelasnya.

Di kebun ‘Science Techno Park’ yang berada di belakang kompleks UMP tersebut, Sisunandar telah menanam 148 pohon kelapa pada areal 6.000 meter persegi. Pohon kelapa yang ditanam berasal dari keturunan pohon kelapa asal Banyumas, Pati, Lampung, dan Madura.

“Dari 148 batang pohon kelapa itu, ada 30 pohon yang berasal dari Banyumas, kemudian dari Kalianda, Lampung sebanyak 20 batang, lalu dari Pati, Jateng sebanyak 37 batang serta dari Sumenep, Madura sebanyak 61 pohon. Ada beragam jenis kelapa kopyor dari masing-masing daerah. Misalnya kalau dari Banyumas ada empat jenis kelapa kopyor yaitu Green Dwarf, Pink Hust Dwarf, Tall dan Yellow Dwarf. Kemudian, kalau dari kopyor pati Yellow Dwarf, kopyor pati Green Dwarf, kopyor pati Brown Dwarf, dan kopyor pati Orange Dwarf,” paparnya.

Ia mengatakan, biasanya dalam pohon kelapa kopyor yang tumbuh alami, dalam satu tandan biasanya hanya mendapatkan 2-3 butir yang kopyor. Karena itulah, tidak seluruh buah kelapa dapat menjadi kopyor. Tapi, dengan pengembangan kultur jaringan, dalam satu pohon kelapa, buahnya bisa kopyor semua.

“Dari riset dan pengalaman kami, dari bibit sampai berbuah membutuhkan waktu sekitar 4 tahun. Tetapi biasanya, pada panen perdana, yang dapat diambil hanya 4-5 butir kelapa. Namun, kalau sudah tahun kedua, maka satu tandan bisa berisi 15-20 butir kelapa. Semuanya kopyor. Setipa bulan, satu pohon kelapa bisa panen antara 15-20 butir juga,” ungkapnya.

Baca juga: Petani Sawit Kuansing Raih RSPO

Saat ini, Sisunandar masih memproduksi bibit kelapa kopyor dengna kultur jaringan. Jika sudah menjadi bibit, harganya per satu batang mencapai Rp1 juta.

“Sepertinya mahal, padahal kalau dihitung dari hasilnya jelas murah. Hitungannya begini. Satu pohon kelapa kopyor dengan bibit Rp1 juta akan mendapatkan hasil yang besar. Satu butir kelapa kopyor minimal harganya Rp25.000, bahkan ada yang sampai Rp40.000. Itu satu butir. Padahal kalau sudah cukup umur, satu tandan dapat menghasilkan 15-20 butir. Usia pohon juga panjang, mencapai 45-50 tahun. Jadi kalau dihitung-hitung, bibit satu batang Rp1 juta tidak mahal, karena penghasilannya juga besar,” jelasnya.

Sementara itu, Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan, Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek)/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Muhammad Dimyati mengatakan, penelitian mengenai kultur jaringan kelapa kopyor tersebut merupakan pertama kali di dunia.

“Juga di sini merupakan kebun plasma nutfah pertama kali di dunia. Jadi, sebuah penelitian itu, yang penting membuat dampak positif bagi masyarakat sekitar, bahkan bangsa Indonesia. Setelah penelitian terwujud, maka kemudian perlu dihilirkan. Kita berharap, nantinya UMP akan berkolaborasi dengan penelitian lembaga lain untuk pengembangan produk kelapa kopyor. Sebagai contoh, ada penelitian LIPI Yogyakarta yang menemukan pengemasan sehingga membuat makanan awet. Dengan kolaborasi pengemasan, maka kelapa kopyor dapat diekspor. Negara-negara Eropa dan Australia membutuhkan, tidak saja untuk konsumsi, tetapi juga bahan baku kosmetik,” paparnya.

Saat ini, lanjutnya, setiap hari kebutuhan kelapa kopyor untuk satu perusahaan es, membutuhkan 1.000 kelapa kopyor. Kalau sebanyak itu, maka yang dibutuhkan yaitu pengembangan budidaya kelapa kopyor. Untuk memenuhi kebutuhan 1.000 kelapa kopyor setiap hari, setidaknya membutuhkan sekitar 20 hektare lahan.

“Inilah potensi yang bisa dikembangkan,” ujarnya.

Desa Kelapa Kopyor

Mendengar penemuan kelapa kopyor dengan kultur jaringan oleh Prof. Sisunandar, Pemerintah Kabupaten Banymas pun berencana menggagas keberadaan desa kelapa kopyor. Untuk membentuk desa pertama program tersebut, Bupati Banyumas, Achmad Husein sudah menganggarkan dana Rp100 juta dari APBD Kabupaten Banyumas. Selain itu, dirinya juga meminta UMP untuk melakukan pendampingan kepada desa kelapa kopyor. Husein menyebut, untuk tahun pertama akan dibentuk satu desa dan pada tahun kedua, ada empat desa yang disiapkan menjadi desa kelapa kopyor.

“Kelapa kopyor ini nilai ekonomisnya tinggi, sehingga akan mengangkat nasib petani ataupun warga yang mau menanamnya,” katanya.

Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Banyumas, Widarso menjelaskan, anggaran Rp100 juta itu nantinya akan dipergunakan untuk membeli bibit kelapa kopyor yang harganya dibandrol Rp1 juta per bibit.

“Untuk lokasi desa kelapa kopyor, pertama masih kita identifikasi. Prosesnya dilakukan tim dari Dinas Pertanian dengan pihak UMP. Namun, sudah mengerucut, kemungkinan besar akan dilakukan pada salah satu desa di Kecamatan Pekuncen,” kata Widarso, Senin (16/12).

Baca juga: Semerbak Kopi Rasa Buah

Sedangkan untuk pola penanamannya, tidak akan dibuka lahan khusus. Namun, akan ditanam pada lahan milik petani setempat. Sehingga, tanaman kelapa kopyor nantinya bisa menyebar di desa tersebut.

“Saat ini kita sedang identifikasi warga atau petani yang memiliki lahan dan mau menanam kelapa kopyor. Kemudian, kita beri bibit kelapa kopyor yang dibeli dari UMP. Untuk penanaman serta pemeliharaannya, akan didampingi oleh pihak UMP dan dinas, untuk memastikan kelapa kopyor tumbuh dengan baik,” terangnya.

Di sisi lain, Rektor UMP, Anjar Nugroho, menyambut baik pembentukan desa kelapa kopyor di Kabupaten Banyumas. Terkait ketersediaan bibit, saat ini UMP juga tengah mengupayakan kebun induk kelapa kopyor. Harapannya, ketersediaan bibit akan melimpah.

“Kita memiliki lahan seluas dua hektare di Desa Karangsari, Kecamatan Kembaran, Kecamatan Banyumas, lahan tersebut disiapkan untuk menjadi kebun induk kelapa kopyor. Sekarang sedang dibuat pembibitan dan nantinya lahan tersebut bisa menampung 300 hingga 400 pohon kelapa kopyor,” jelas Anjar.

Untuk pembibitan kelapa kopyor, dibutuhkan waktu kurang lebih hingga dua tahun. Dari sisi nilai ekonomis, kebutuhan kelapa kopyor di Indonesia sangat besar, sebab tidak hanya untuk makanan saja, tetapi juga dipergunakan sebagai bahan baku kosmetik.

 

Related News