• 26 April 2024

Petani Milenial Kaki Gunung Merbabu

uploads/news/2020/03/kisah-sukses-dari-kaki-34836cb92eafc88.jpg

Dalam mengelola sayur organik ini saya dibantu oleh 20 orang kelompok tani yang lahannya ditanami berbagai macam sayuran ada selada hijau, tomat, bayam, sawi dan masih banyak lagi.”

JAKARTA - Apabila kita mendengar kata sayur organik, yang terbenak dalam pikiran kita adalah sayur mayur yang dibudidayakan tanpa menggunakan bahan kimia sintetis. Di kaki Gunung Merbabu, tepatnya di Desa Kopeng, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah, ada sosok pemuda yang sukses menekuni bisnis sayur organik.

Pemuda tersebut bernama Sofyan Adi Cahyono, lulusan Fakultas Pertanian Universitas Satya Wacana Salatiga. Dalam menjalankan usaha yang ditekuninya, ia tidak sendiri. Sofyan mempunyai kelompok tani yang diberi nama Kelompok Tani Citra Muda yang juga dikenal dengan nama Sayur Organik Merbabu (SOM).

“Saya di sini bertani fokusnya sudah enam tahun, tapi aslinya sudah sejak kecil diajak berkebun sama orang tua. Dalam mengelola sayur organik ini saya dibantu oleh 20 orang kelompok tani yang lahannya ditanami berbagai macam sayuran ada selada hijau, tomat, bayam, sawi dan masih banyak lagi,” terang pemuda berusia 25 tahun tersebut dalam keterangan tertulis Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) belum lama ini.

Baca juga: Menanam Talas di Lahan Rawa 

Dalam mengembangkan usahanya, Sofyan didampingi dan dibantu oleh pemerintah khususnya dari Dinas Pertanian, Perikanan, dan Pangan, Kabupaten Semarang. Bantuan yang diberikan tidak saja dalam bentuk alat pertanian, tetapi juga dalam pengembangan usaha dan perolehan sertifikasi pertanian organik.

Selain dukungan dan pendampingan dari dinas terkait, Sofyan juga merasa terbantu dengan program pemberdayaan masyarakat yang dijalankan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Semarang. Pada 2020, dengan skema aset mengikuti akses, ada 24 bidang tanah pertanian anggota Kelompok Tani Citra Muda yang didaftarkan melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).  

”Awal mulanya kami mendapat penyuluhan program dari BPN yaitu program sertifikasi PTSL. Menurut saya ini cocok banget, karena di tempat kami walaupun lahannya luas masih banyak yang belum bersertifikat jadi setelah nanti kita dapat sertifikat kita menjadi lebih mantap dan tenang bekerja di kebun,” ungkap Sofyan.

Menilik ke belakang, pada 2018 Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Melalui regulasi tersebut, pemerintah berupaya mewujudkan pemerataan dan keadilan baik dalam penguasaan dan pemilikan tanah maupun dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah.

Setidaknya terdapat dua skema atau bentuk pelaksanaan Reforma Agraria, pertama, Akses mengikuti Aset, yaitu kegiatan penataan akses dilaksanakan pada lokasi yang telah dilaksanakan Legalisasi Aset. Kedua, Aset mengikuti Akses, yaitu penataan aset dilaksanakan pada lokasi yang telah memiliki atau diberikan akses.

Baca juga: Upaya BPTP Sulteng Tarik Milenial

Pelaksanaan Reforma Agraria juga membutuhkan dukungan dan peran serta dari lintas sektor terkait dalam rangka penataan aset dan penyediaan akses bagi masyarakat pemilik dan penerima sertifikat Hak Atas Tanah. Kerj asama dan sinergi juga perlu dibangun dengan pihak-pihak terkait baik dari pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), dan lain sebagainya.

Sehingga, petani maupun pelaku usaha lainnya seperti Sofyan bisa bernafas lega. Pasalnya tanah yang dimiliki dan telah bersertifikat, dapat memberikan rasa aman serta dapat bermanfaat dalam pengembangan usahanya.

Related News