• 26 April 2024

Upaya BPTP Sulteng Tarik Milenial

uploads/news/2020/02/upaya-bptp-sulteng-tarik-3625311c2d8cc2b.JPG

“Itulah tantangan saat ini, apa jadinya kalau anak muda sudah tidak mau bertani, otomatis kita mengimpor, bayangkan berapa banyak devisa negara itu habis hanya untuk mengimpor pangan.”

SIGI - Generasi muda atau dikenal dengan sebutan kaum milenial, merupakan penentu kemajuan di setiap sektor. Pertanian salah satunya. Sebab, estafet profesi petani selanjutnya berada di pundak generasi muda. Hal itu diungkapkan oleh Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah, Fery Fahrudin Munir, belum lama ini.

Menurut Fery, saat ini mulai terlihat gejala degenerasi petani atau penurunan minat bertani bagi kaum milenial. Hal itu terjadi karena pemuda saat ini lebih tertarik dengan pengembangan teknologi. Karena itu, saat ini BPTP Sulawesi Tengah, lanjutnya, berupaya memaksimalkan tenaga muda atau petani milenial, dengan melakukan pendampingan pertanian berbasis teknologi modern.

"Tentu kita juga punya konsep untuk petani milenial, kedepannya mereka tidak mencangkul lagi, tidak berlumpur-lumpur lagi. Kami sudah rancang pertanian modern berbasis teknologi," ungkapnya.

Baca juga: Misi Bulog Sulteng untuk Masyarakat

Alat Pertanian Berteknologi Tinggi

Langkah tersebut, kata Fery, dilakukan dengan harapan agar kaum milenial tidak meninggalkan pertanian. Untuk menarik kaum milenial, BPTP akan menerapkan sistem peralatan pertanian berbasis teknologi yang terapkan, selain itu peralatan tersebut akan terkoneksi dengan android. Penyediaan peralatan itu terus diupayakan oleh pihak BPTP. Diantaranya dengan menciptakan mesin alat pertanian mulai dari pengolahan tanah, tanam, lalu panen sampai pemaketan.

"Kalau untuk padi, dari Badan Litbang Pertanian itu dari pascapanen itu ya, dari memotong, memanen, sampai jadi gabah, bahkan sudah dikarungkan di mesin itu," jelasnya.

Selain itu, untuk alat tanam sendiri, BPTP SUlteng memiliki Jajar Legowo Transplanter. Mesin tanam padi metode jajar legowo ini mampu menggantikan 20 tenaga kerja tanam setiap 1 hektare. Kapasitas lapang 5,2-6 jam per hektare, sehingga mampu menurunkan kebutuhan tenaga kerja dan biaya tanam sekaligus mempercepat waktu tanam.

"Para kaum milenial kan menanam tinggal menggunakan alat itu," terangnya.

Baca juga: Irigasi Gumbasa Kembali Berfungsi

Selain itu, BPTP juga sudah meluncurkan drone untuk peyemprotan tanaman. Sehingga nantinya petani milenial bisa menggunakan drone tersebut. Begitu juga dengan penanaman, sistemnya akan dibuat otomatis, karena sudah terprogram melalui android. Jadi alat tersebut sudah terkoneksi menggunakan Global Positioning System (GPS). Fery menjelaskan, untuk mengolah lahan seluas satu hektare misalnya. Dengan titik koordinat sebanyak empat titik, drone tersebut akan bekerja sesuai program yang diperintahkan sehingga tidak memakan waktu lama.

"Itulah namanya modern, kalau petani milenial selalu dikenalkan kalau petani itu berlumpur, busuklah, pasti generasi milenial ini tidak tertarik," tegasnya.

Konsekuensi Sistem Mordenisasi

Hanya saja, kata Fery, memang ada konsekuensi ketika terlalu banyak menggunakan sistem modernisasi. Salah satunya mengurangi tenaga kerja, sementara masyarakat Indonesia saat ini sangat membutuhkan lapangan pekerjaan khususnya buruh tani.

Akan tetapi, lanjutnya, kondisi ini tidak bisa dihindari, sebab generasi muda saat ini mulai tidak tertarik menjadi petani. Beberapa tahun terakhir, ia melihat, generasi milenial lebih memilih menjadi pegawai negeri. Fery menilai kondisi tersebut sangat memprihatinkan, sebab Indonesia masih saja mendatangkan bahan pangan dari luar negeri. Padahal, Indonesia memiliki tanah yang sangat subur.

"Itulah tantangan saat ini, apa jadinya kalau anak muda sudah tidak mau bertani, otomatis kita mengimpor, bayangkan berapa banyak devisa negara itu habis hanya untuk mengimpor pangan," tutupnya.

Baca juga: Budidaya Kelor Organik Terbaik

Related News