• 26 April 2024

Terancam Punahnya si Kodok Merah

uploads/news/2020/12/terancam-punahnya-si-kodok-6774004091f24d1.jpg

Kita perlu mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai pentingnya spesies kodok ini yang menjadi satu-satunya jenis amfibi yang dilindungi di Indonesia.

JAKARTA - Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) University dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Dr. Mirza D. Kusrini mengatakan, kodok merah (Leptophryne cruentata), hewan endemis Indonesia, telah masuk dalam daftar The International Union for Conservation of Nature (IUCN) sebagai terancam punah, sayangnya penelitian tentang kodok merah masih sangat terbatas.

Menurutnya, pada 2014 lalu, telah diadakan lokakarya mengenai penyebaran dan bioekologi kodok merah di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Baca juga: Daftar Merah Hewan Terbaru IUCN

Hal ini disampaikannya dalam Lokakarya Nasional Konservasi Kodok Genus Leptophryne di Indonesia, (18/12) yang digelar oleh Perkumpulan Penggalang Herpetofauna Indonesia (PHI) bekerjasama dengan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, IPB University.

Kegiatan tersebut merupakan upaya dalam menggali dan menghimpun berbagai gagasan dan usulan para pihak yang akan dijadikan sebagai prioritas kegiatan konservasi terhadap genus katak terutama kodok merah di Indonesia.

Kita perlu mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai pentingnya spesies kodok ini yang menjadi satu-satunya jenis amfibi yang dilindungi di Indonesia. Kegiatan ini juga menjadi antisipasi tindakan perlindungan terhadap habitat kodok Genus Leptophryne yang rentan terhadap perubahan lingkungan. Untuk itu, perlu juga membahas mengenai teknologi breeding dan mekanismenya,” ujarnya dalam keterangan resmi IPB University belum lama ini.

Menurut Mirza, data penyebarannya masih belum lengkap dan data yang dapat ditemukan hanya dikeluarkan dalam bentuk jurnal yang berusia hampir 60 tahun.

Penelitian tersebut juga meneliti sembilan jenis katak lainnya dan mengevaluasi pergerakan populasinya di jalur Cibodas.

Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University sepanjang tahun 2005-2012 telah melakukan penelitian mengenai kodok merah (Leptophryne cruentata) dan kodok jam-pasir (Leptophryne borbónica), sayangnya tidak mendapatkan banyak data.

Hasil penelitian yang dipublikasikan di 2017 itu membahas mengenai pergeseran habitatnya di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan membandingkannya dengan data dari jurnal berusia 60 tahun.

Hasil yang didapatkan yaitu, terdapat pergeseran populasi yang lebih rendah.  

Penelitian lain pada 2014, terdapat penyakit jamur jenis chytridiomycosis yang  menjangkiti kulit katak yang terjadi, bahkan di seluruh dunia.

Jamur tersebut juga salah satu penyebab beberapa jenis katak mengalami kepunahan.

Namun jenis kodok merah tergolong mampu pulih dari penyakit tersebut.

Pemulihannya sendiri bergantung dari respon imun terhadap patogen dan mikrobiota, serta dipengaruhi pula oleh tipe pergerakan dan perairan yang dihuni.

Beberapa temuan baru menyebutkan, ada aktivitas anti jamur pada sekresi kulit kodok yang dapat membantu proses pemulihannya.

Selain itu, penelitian mengenai komunitas berudu atau anakannya dilakukan baik pada musim kawin maupun musim lainnya.

Walaupun setiap bulannya ditemukan berudu, jarang sekali ditemukan kodok yang mencapai tahap dewasa.

Bahkan, peneliti harus meneliti spesimen telur yang teramat tua di museum untuk melakukan riset lebih lanjut.

Ia menyebutkan, bila penelitian mengenai kodok tersebut menjadi penting karena penelitian mengenai ekologi kawin dan publikasi terbarunya semakin jarang ditemukan.

Sayang sekali sejak tahun 2014 hingga 2020 saya tidak bisa mengatakan bahwa ada perkembangan penelitian mengenai Leptophryne cruentata di luar monitoring di beberapa lokasi. Tampaknya ini perlu didorong lebih lanjut penelitian mengenai Leptophryne cruentata,” sebutnya.

Sementara itu, kodok jam-pasir memiliki ciri hampir sama dengan kodok merah.

Namun, terdapat perbedaan lokasi penyebaran, yaitu di bawah 1.000 meter di atas permukaan laut, serta terdapat motif khas seperti jam pasir pada tubuhnya.

Walaupun spesies tersebut penyebarannya lebih luas daripada kodok merah, namun penelitian mengenai kelimpahannya juga masih terbatas.

Baca juga: Katak Mini Baru dari Sumsel

Ia menemukan, bila masyarakat sudah mulai melakukan breeding dan penangkaran terhadap kodok jam-pasir tersebut.

Kodok tersebut juga diperjualbelikan secara ilegal sebagai binatang peliharaan di e-commerce dan sosial media.

Ia menyebutkan, bila langkah masyarakat dinilai lebih cepat daripada peneliti, yang kini seharusnya menjadi pihak yang melakukan penangkaran. 

Related News