• 29 March 2024

Saatnya Perbatasan Jadi Lumbung Beras

uploads/news/2019/10/saatnya-perbatasan-jadi-lumbung-90014b2fad8820e.jpg

Pemerintah mulai melihat potensi pertanian di kawasan perbatasan yang selama ini selalu kurang tergarap.

JAKARTA - Kawasan perbatasan yang selama ini pembangunan pertaniannya kurang tergarap dan sering terpinggirkan mulai dilirik Kementerian Pertanian (Kementan). Dalam pers rilisnya, Kementan akan terus mendorong pembangunan pertanian di semua jenis lahan dan wilayah khususnya kawasan perbatasan. Menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Tanaman, Bambang Pamuji, kawasan perbatasan merupakan wilayah yang sangat menarik untuk dikembangkan pertaniannya.

“Pemikirannya kawasan perbatasan adalah akses terdekat untuk produk kita bisa ekspor ke luar negeri,” kata Bambang di Jakarta, Rabu (16/10).

Selain itu, Bambang juga menegaskan Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki wilayah perbatasan yang cukup banyak. Seperti perbatasan di Malaysia, Brunei, Filipina, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste. Perbatasan itu, lanjut Bambang, sebenarnya merupakan surga baru bagi kehidupan masyarakat Indonesia. 

“Saya yakin perbatasan bisa menjadi penyangga pangan nasional. Spiritnya adalah memberikan kesempatan bagi penduduk kawasan perbatasan membangun ekonomi pangan yang tepat,” tegasnya.

Untuk mewujudkan hal itu, di wilayah perbatasan, Bambang mengungkapkan jika Direktorat Jenderal Tanaman Pangan akan memberikan fasilitasi Rice Milling Unit (RMU) yang sudah ada sejak 2016. Pembangunan RMU diklaim Bambang merupakan bentuk komitmen integrasi dan modernisasi langkah-langkah di lapangan. 

  Lebih lanjut Bambang menuturkan hingga saat ini RMU Kawasan Perbatasan sudah sebanyak 26 unit tersebar di beberapa provinsi seperti  Aceh, Riau, Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.  Menurut Bambang, bantuan alat tersebut secara teknis untuk meningkatkan kualitas produksi dan daya tawar petani.

"Dengan demikian masyarakat di kawasan perbatasan tersebut, khususnya para petani akan semakin kuat posisi tawarnya. Kawasan perbatasan dapat menjadi lumbung beras baik untuk domestik maupun ekspor," jelas dia.

Lebih lanjut, Bambang menyatakan jika Kementan memiliki tekad untuk mendorong daya saing produk di kawasan perbatasan. Menurutnya, daya saing merupakan bagian dari proses menciptakan keunggulan. Parameternya sendiri berupa,  karakteristik produk,  kapasitas profuksi, mutu produk, efisiensi usaha, nilai tambah, harga yang kompetitif, kontiniunitas suplain. 

"Kita harus melakukan perubahan atas orientasi produksi sehingga tercipta keunggulan produk. Termasuk di kawasan perbatasan ini kita cari apa yang menjadi kekhasannya,” terangnya.

Sementara itu, Kepala Subbagian Kelembagaan Organisme Pengganggu Tanaman, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Batara Siagian, mengungkapkan komitmennya ketika menerima RMU tersebut. Menurutnya, kelompok penerima RMU kawasan perbatasan terus bekerjasama dengan Perum BULOG untuk penyerapan hasilnya. Contohnya, lanjut Batara, di Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau, petani awalnya hanya menyerahkan nasib pada alam, hanya tanam setahun sekali saja karena nunggu hujan. Lalu, pada April 2018 diberikan bantuan RMU dan hasilnya petani di sana sekarang bisa tanam padi minimal 2 kali.

“Tidak hanya berhenti pada fasilitasi RMU, tapi juga merambah ke konsep pertanian organik. Seperti halnya di Entikong Kalbar. Saat ini, sedang dilakukan pembinaan organik bekerjasama dengan FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian PBB). Tanaman pangan, terutama produk beras organik menjadi salah satu primadona bagi kawasan perbatasan,” ungkap Batara.

Batara juga menambahkan, jika Kementan bersama FAO dalam waktu dekat akan mengembangkan padi organik di wilayah perbatasan tersebut seluas 104 hektare. Varietasnya berupa padi organik, Inpari 24 dan beras hitam varietas lokal, Selasih. Menurut Batara, pangsa pasar di kawasan perbatasan cukup menjanjikan di sana. Selain itu, tanaman organik yang dikembangkan merupakan produk eksotis atau memiliki nilai jual tinggi. 

“Di pasaran kan bisa dihargai Rp20 ribu sampai Rp30 ribu per kilogram. Saya yakin pangsa pasar organik di perbatasan ini masih terbuka luas, jadi mari kita maksimalkan manfaatkan kesempatan ini," sebutnya.

Related News