• 29 March 2024

Antara Budidaya atau Ekspor Lobster

uploads/news/2020/06/antara-budidaya-atau-ekspor-98653f00bc02f39.jpg

Hakekat peraturan ini sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat.”

JAKARTA - Saat mendengar kata hewan yang satu ini, biasanya akan identik dengan sebutan makanan mewah.

Lobster kini menjadi makanan olahan mahal yang ada di restoran kelas atas.

Tidak hanya di luar negeri saja, lobster juga dapat ditemukan di daerah pesisir selatan Yogyakarta, Gresik, Lombok Tengah, Cilacap, Aceh dan sebagainya.

Baca juga: Dilema Wacana Ekspor Lobster

Lobster termasuk ke dalam kategori jenis Filum Arthropoda yang merupakan golongan komoditas yang memiliki harga tinggi saat di ekspor dalam ukuran siap panen.

Lain halnya jika di ekspor saat masih menjadi bibit lobster, kemungkinan harga akan standar.

Zaman dahulu, masyarakat Eropa menganggap lobster sebagai serangga kotor atau yang biasa disebut “kecoa laut”.

Namun, semakin saat ini lobster telah menjadi makanan favorit masyarakat.

Bahkan para youtuber melakukan “mukbang” atau makan banyak dengan menu lobster.

Sementara itu, terdapat kebijakan yang baru diterbitkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terkait dengan lobster.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12/2020 tersebut mengatur tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan.

Kebijakan ini menjadi kontroversi, karena berkaitan dengan kembali diizinkannya ekspor benih lobster setelah dilarang oleh Menteri Susi Pudjiastuti pada eranya.

Namun, ekspor  baru dapat dilakukan lagi dengan memenuhi sejumlah persyaratan yang ketat.

Melansir dari ANTARA, Ombudsman sendiri mengaku sudah siap untuk mengawasi pelaksanaan kebijakan ekspor lobster, kepiting, dan rajungan, yang mendapat kritik karena dianggap merugikan nelayan serta merusak budidaya.

Salah satu anggota Ombudsman, Alamsyah Saragih menduga pelaksanaan kebijakan itu berisiko tinggi dari sisi akuntabilitas, juga administratif dan berpotensi menghasilkan adanya kecurangan.

Alamsyah mengingatkan janji politik pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah lokal dalam rantai pasok harus menjadi acuan dan tidak hanya menghitung untung atau rugi.

Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo menyatakan, kebijakan lobster yang meliputi antara lain budidaya dan ekspor benih lobster merupakan kebijakan yang terukur dan terkendali.

"Hakekat peraturan ini sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat," jelasnya.

Menteri Edhy mengungkapkan, latar belakang terbitnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan  Nomor 12 Tahun 2020 tersebut berawal dari pengalamannya saat menjabat sebagai Ketua Komisi IV DPR. 

Ketika itu, dia mendengar berbagai keluhan masyarakat pesisir selama kurun waktu 2014-2019, khususnya masyarakat yang terdampak dengan larangan benih lobster.

Maka, ia pun membentuk tim dan melakukan penelitian publik,  akademis, serta melihat langsung ke lapangan.

Bahkan, ia juga melakukan pemeriksaan ke Unversitas Tasmania, tempat penelitian lobster di Australia.

Hasilnya, dirinya menemukan adanya manfaat yang bisa diambil oleh masyarakat dari komoditas lobster tanpa harus menghilangkan faktor keberlanjutannya.

Sebagai gambaran, ia menyebutkan, di Universitas Tasmania, lobster bisa menghasilkan hingga empat juta telur selama musim panas yang berlangsung selama empat bulan atau sejuta telur per bulan.

Hal itu pun meyakinkannya, membangun industri lobster di Indonesia merupakan keharusan dan suatu hal yang tepat.

Mengutamakan Budidaya

Terkait peraturan ekspor benih lobster, Edhy menegaskan, pihaknya tetap mengutamakan aspek budidaya.

Selain itu, ia akan memberikan syarat ketat sebelum mengekspor benih lobster, yaitu siapa pun harus melakukan budidaya terlebih dahulu.

Sementara untuk pembudidaya, ia mewajibkan mereka untuk melakukan restocking ke alam sebesar 2% dari hasil panennya.

Aturan tersebut juga memiliki pemantauan dan evaluasi secara berkala.

Sementara itu, Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia (BRSDM) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Sjarief Widjaja juga menemukan adanya potensi benih bening lobster pasir (Panulirus homarus) dan lobster mutiara (Panulirus ornatus) sebesar 278.950.000 ekor di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).

Selain itu, lanjutnya, penangkapan benih lobster dapat dilakukan di lokasi-lokasi yang memiliki karakteristik bertipologi perairan dangkal, sepanjang pantai dan pulau-pulau kecil, relatif terlindung (dalam teluk), dan dasar perairan pasir berlumpur, serta terdapat asosiasi terumbu karang-lamun-alga.

Dalam paparan berjudul “Tata Kelola Pengelolaan Perikanan Lobster,” Sjarief mengungkapkan perlunya pencatatan hasil penangkapan benih bening di setiap lokasi dan penalaahan berkala terhadap kondisi stok benih bening lobster di alam.

Hal itu untuk mendukung peninjauan ketersediaan stok benih bening lobster dan pengelolaan secara bertanggungjawab serta keberlanjutan.

Menurutnya, regulasi tata kelola sumber daya perikanan lobster diperlukan untuk memperkuat tata kelola benih loster melalui beberapa cara, yaitu: pendataan stok benih lobster dan produksi lobster, peluang menata kelembagaan benih lobster yang optimal, memperkuat pengembangan budidaya lobster, dan memperkuat upaya restocking lobster di sentra benih lobster.

Perekonomian Baru

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP, Slamet Soebjakto juga mendorong peningkatan budidaya lobster di daerah.

Ini karena hal itu akan menimbulkan berbagai kelompok aktivitas perekonomian baru, seperti kelompok komoditas kerang.

Kerang hijau sendiri dikenal sebagai pakan yang baik bagi budidaya lobster.

Menurut Slamet, membudidayakan lobster merupakan aktivitas yang lebih baik dibandingkan sekadar mengekspor benih, karena memberikan banyak manfaat terutama dalam menciptakan lapangan kerja.

Selain itu, KKP juga telah menargetkan produksi lobster dari senilai Rp330 miliar pada 2020 menjadi sebesar Rp1,73 triliun pada 2024.

Volume produksi lobster dari 1.377 ton pada 2020 menjadi 7.220 ton pada 2024.

Dalam hal ekspor, KKP pun mengklaim terus melakukan monitoring dan evaluasi kepada perusahaan eksportir yang telah mendapatkan izin ekspor.

Eksportir juga harus memenuhi kuota yang diperbolehkan untuk ekspor, yang tidak boleh melebihi jumlah yang dibudidayakan.

Slamet juga mengungkapkan, pedoman minimal persyaratan budidaya lobster yang sedang disusun bertujuan untuk mendorong tumbuhnya budidaya lobster di Indonesia.

Slamet memaparkan pedoman itu, pertama yaitu lokasi harus memenuhi Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan terdaftar.

Kedua, terkait layout budidaya harus memiliki sirkulasi arus dan oksigen yang cukup, bersih, dan sesuai kapasitas keramba.

Ketiga, yaitu proses produksi mulai dari pakan harus segar dan berkualitas baik guna menghindari penyakit.

Kemudian keempat, aspek sosial ekonomi harus memberdayakan masyarakat sekitar, ada transfer teknologi dan kestabilan harga,” ucapnya.

Ia menambahkan, pedoman kelima yaitu lingkungan yang mensyaratkan restocking atau pelepasliaran minimal 2% dari hasil budidaya serta pengendalian pencemaran.

Keenam, daya saing dengan mendahulukan produk Indonesia.

Terakhir atau ketujuh, terkait dengan kuota, yaitu mengutamakan benih untuk budidaya ketimbang ekspor, serta Keramba Jaring Apung (KJA) diatur sesuai kapasitas.

Slamet juga menuturkan petunjuk teknis untuk hal itu sudah ada dan akan segera dikirimkan ke dinas-dinas kelautan dan perikanan di berbagai daerah.

Benih Terbanyak

Ketua Himpunan Pembudidaya Ikan Laut Indonesia (Hipilindo), Effendy Wong mengingatkan, Indonesia dengan iklim yang bagus, serta lokasi yang strategis di antara dua samudera, sebenarnya merupakan negara dengan sumber benih lobster terbanyak di dunia.

Namun, Effendy menyayangkan, di Indonesia masih ada sejumlah persoalan seperti mental budidaya lobster belum berkembang baik.

Ini karena lebih memilih tangkapan, kondisi sumber daya manusia (SDM), serta belum ada dukungan pemerintah dan biaya logistik tinggi.

Sementara itu, pengamat kelautan sekaligus Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim menyatakan, kebijakan terkait komoditas lobster jangan dibuat hanya sekadar untuk meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor perikanan.

Ketidakpastian yang sangat tinggi di dalam pengelolaan sumber daya perikanan dikalahkan oleh pertimbangan jangka pendek semata-mata mengejar PNBP,” kata Abdul Halim.

Menurutnya, kekayaan sumber daya laut Indonesia seperti lobster dapat menjadi kutukan bagi masyarakat sekitar, bila pengelolaannya mengabaikan sikap kehati-hatian dan penerapan prinsip berkelanjutan.

Ia menyoroti kebijakan yang saat ini membolehkan kembali ekspor benih lobster dengan persyaratan ketat, yang dinilai sebenarnya regulasi itu masih memerlukan kajian ilmiah lebih lanjut.

Abdul juga menekankan pentingnya manajemen yang mumpuni, tidak permisif, serta menegakkan hukum dengan adil.

Tekan Ilegal

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh. Abdi Suhufan meminta KKP untuk menjamin dan memastikan, ketentuan regulasi baru tersebut akan dapat menekankan ekspor benih lobster yang dilakukan secara ilegal.

Berdasarkan pemantauan DFW Indonesia, dalam kurun waktu Februari-Mei 2020 telah terjadi enam kali upaya penyelundupan benih lobster secara ilegal yang berhasil digagalkan oleh berbagai otoritas pengawasan di Indonesia.

Masih menurut data DFW, total benih lobster yang digagalkan tersebut sekitar 137.000 benih dengan nilai Rp17,5 miliar.

Lokasi penangkapan masih di lokasi sentra dan jalur tradisional penyelundupan benih lobster yaitu di Lombok, Surabaya, Semarang, Jambi, dan Riau.

Ia berpendapat, penyelundupan benih lobster masih marak terjadi di masa pandemi.

Ini karena, longgarnya pengawasan aparat terhadap lalu lintas barang, sehingga KKP dan aparat terkait diminta tetap meningkatkan pengawasan terhadap praktik penyelundupan benih lobster ke luar negeri.

Pihaknya berharap, akan ada korelasi antara meningkatnya kegiatan budidaya lobster dalam negeri dengan menurunnya ekspor benih lobster secara ilegal.

Hal itu, sekaligus untuk membuktikan dan membantah tudingan, regulasi tersebut merupakan cara pemerintah untuk melegalisasi kegiatan ilegal.

Seperti diketahui, penerbitan Peraturan Menteri 12/2020 bertujuan untuk mengatur pengelolaan lobster, kepiting, dan ranjungan, agar bisa mendatangkan devisa bagi negara dan sekaligus menjaga keberlanjutan sumber daya lobster Indonesia.

Baca juga: Memahami Moulting Lobster Air Tawar

Peneliti DFW Indonesia, Muhammad Arifudin menyatakan, setelah KKP memperbolehkan kembali ekspor benih lobster, maka penetapan badan usaha yang diperbolehkan melakukan ekspor benih lobster harus benar-benar selektif.

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi memastikan, pihaknya akan mengawasi implementasi regulasi soal lobster.

Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim, Kemenko Marim dan Investasi, Safri Burhanuddin mengatakan, pengeluaran benih lobster dari Indonesia selain hanya boleh dilakukan oleh eksportir yang telah melakukan budidaya, juga ada kuota dan alokasi penangkapan benih lobster.

Jadi, kalau dia melakukan budidaya, paling tidak sudah jaga keseimbangan. Teorinya begitu, tapi nanti kita lihat kenyataan di lapangan,” katanya.

Related News