• 28 March 2024

Demi Mewujudkan Petani Beras Indonesia

Di Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan, para petani yang bekerja di sawah mendapat julukan “petani beras”, sementara di Indonesia mendapatkan julukan “petani padi”.

KLATEN - One Krisnata, Owner Krisnata Rice Mill, masih ingat betul saat ia berlibur ke Jepang bersama sang istri pada 2015. Ketika itu, ia bersama istri memutuskan untuk menginap di rumah sahabatnya di daerah Ginza, Tokyo. Suatu saat, sang sahabat membangunkan One untuk menemaninya menggiling beras, karena kebetulan beras di rumah sahabatnya ketika itu habis.

“Kok ada penggilingan beras, akhirnya saya hanya menuruti. Lalu ia masuk ke gudangnya, ia mengambil satu karung gabah dan dimasukkan ke mobil. Kita pergi kira-kira lima menit, lalu di pinggir jalan itu ada penggilingan beras menggunakan koin,” katanya kepada JagadTani.id belum lama ini.

Baginya, hal tersebut merupakan sesuatu yang unik. Karena, banyak orang Jepang yang tinggal di kota-kota besar justru menyimpan gabah. Karena dengan menyimpan gabah, lanjutnya, mereka bisa menggiling dengan mesin penggiling portable hanya menggunakan koin.

“Berangkat dari itu saya berpikir, kenapa tidak petani kita mempuyai mesin-mesin penggilingan mini yang bisa membantu mereka, setidak membantu mereka menjadi petani di Jepang, Korea Selatan, maupun Taiwan,” tuturnya.

Karena menurutnya, di Jepang, Korsel, dan Taiwan, para petani yang bekerja di sawah mendapat julukan “petani beras”, sementara di Indonesia mendapatkan julukan “petani padi”. Ini karena para petani di Indonesia menjual padi, bukan menjual beras. Umumnya, padi diambil oleh para tengkulak, akhirnya yang menikmati nilai tambah yang besar justru para tengkulak.

“Karena itu saya ingin memberdayakan para petani Indonesia dan menjadikan mereka petani beras,” tutupnya.

Karena itu, ia pun menciptakan alat penggiling beras portable yang bernama Krisnata Rice Mill yang diklaim 100% buatan anak bangsa. Menurutnya, untuk membuat alat penggiling beras portable, ia membutuhkan waktu selama tiga tahun untuk membuat mesin beras yang spesifikasinya mirip dengan buatan Jepang. Karena, lanjutnya, teknologi yang ia gunakan tergolong baru dan jumlah broken rice-nya tidak lebih dari 20%.

“Artinya, sesuai peraturan pemerintah, beras premium itu kira-kira pecahnya 15% sampai 18%. Ini menunjukkan output dari mesin itu sudah bisa dijual sebagai beras premium,” jelasnya.

Jatuh Bangun

Dalam menciptakan mesin beras, One mengaku dalam memproduksi mesin yang baru dengan teknologi yang berbeda tidak mudah. Ia juga menyadari pengerjaan mesin beras tersebut akan memerlukan waktu selama tiga tahun. Selama itu, ia mengaku babak belur dalam pembuatan mesin itu. Namun, setelah itu mesin pun selesai dibuat, bahkan ia mampu mengetahui serta menutupi semua permasalahan dari mesin beras itu.

“Semuanya 100% buatan Indonesia. Semua spare part-nya kita buat sendiri di Prambanan, Klaten,” katanya.

Apalagi, lanjutnya, dalam menciptakan mesin beras memerlukan pengulangan dan percobaan. Apa lagi, di masa awal mesin tercipta, ia mengaku selalu melakukan ujicoba gabah yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia, mulai dari yang organik maupun non-organik untuk dapat menghasilkan beras untuk Indonesia.

Namun kerja keras One tidak sia-sia, beberapa petani seperti di Semarang, Boyolali, Jawa Tengah; Tangerang, Banten; dan Bali. Khusus di Bali sendiri, menurutnya produk mesin beras miliknya laku terjual di sana, bahkan mayoritas petani di Bali menggunakan mesin beras miliknya. Setelah itu, rencananya pada tahun ini ia akan bernegosiasi dengan para petani dari Banyuwangi, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat. Lalu bagaimana dengan di Klaten? One mengakui jika ia belum melakukan uji pasar di Klaten. Karena menurutnya, Klaten memiliki keunikan tersendiri, namun rencananya tahun ini ia akan menguji mesin beras di wilayah Klaten.

“Mudah-mudahan dalam waktu dekat bisa menyebar ke seluruh Indonesia,” harapnya.

Untung bagi Petani

Dengan adanya mesin beras Krisnata Rice Mill, menurut One, para petani akan mendapat keuntungan yang maksimal. Ini karena menurutnya, umumnya para petani lahan sawah seluas 2.500 meter persegi, dari luas lahan tersebut jika diambil rata-rata, output mereka sekitar 0,7 kilogram per meter persegi.

“Artinya, output mereka dari 2.500 meter persegi itu akan menghasilkan gabah kurang lebih sekitar 1,7-1,8 ton. Umumnya, lahan sawah seluas itu pada saat panen dibeli dengan kisaran Rp4-5 juta. Kalau hasil panen mereka hanya dibeli Rp4-5 juta, padahal dari 1,7 ton gabah kalau dikalikan 65% menghasil 1,2 ton plus dan itu bisa menjadi beras. Pada saat menjadi beras, harganya kalau dengan harga beras umum Rp10.000, itu nilainya sudah Rp12 juta,” terangnya.

Pada saat petani menjual gabah, hanya mendapatkan pemasukan maksimal Rp5 juta. Padahal, biaya mereka untuk menggarap 2.500 meter persegi bisa mencapai Rp2 juta. Jadi, keuntungan mereka hanya Rp2 juta setelah bekerja di bawah terik matahari. Padahal, kalau padi diolah menjadi beras, para petani akan mendapatkan keuntungan minimum Rp11 juta.

 

Related News