• 26 April 2024

Geliat Udang Vaname

uploads/news/2020/01/geliat-udang-vaname-79006c812ac30a1.jpg

Kita ingin daya saing udang kita naik dan target saya yakni memperluas pasar dan meningkatkan supply share kita di pasar ekspor. Ini tantangan kita ke depan.”

JAKARTA - Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur, berhasil mengembangkan standar operasional prosedur (SOP) budidaya udang vaname (Litopenaeus Vannamei) berbasis bio-herbal sehingga jangka waktu pemeliharaan lebih pendek dengan hasil optimal. Klaim keberhasilan itu disampaikan Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Elestianto Dardak saat menghadiri panen raya udang vaname di Instalasi Budidaya air Laut (IBL) di Desa Prigi, Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek, Jumat (10/1).

Menurut penjelasan Emil, belasan ton udang vaname berukuran 40 yang dipanen dalam panen raya itu berhasil dibudidaya selama 70 hari, lebih pendek ketimbang metode budidaya biasa yang biasanya memakan waktu empat bulan atau sekitar 120 hari.

“Kami mengapresiasi teman-teman di IBL Prigi yang sudah mengembangkan sebuah SOP untuk pengembangan dan memanen udang vaname, bahkan bio-teknologi herbal sebagai makanannya, sehingga hasilnya lebih optimal, katanya seperti melansir ANTARA, belum lama ini.

Metode ini dilakukan tim IBL dengan mengelola sumber daya air laut yang sudah baik, dengan memanfaatkan bakteri yang sudah dilemahkan. Tata kelola air dibantu bakteri yang sudah dilemahkan ini berdampak positif terhadap bibit-bibit udang yang sedang dibudidaya, di antaranya penggunaan listrik yang lebih efisien dan penggunaan pakan yang lebih rendah.

“Metode optimalisasi pengelolaan air ini membuat rentang waktu budidaya lebih pendek,” kata Kepala Bidang Perikanan Budidaya, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur, Hari Pranoto.

Jika budidaya udang vaname normalnya mencapai 120-an hari, dengan metode super intensif menggunakan bio teknologi berbasis herbal ini menurut Hari Pranoto, jangka waktunya tinggal 65-70 hari.

“Itu udang yang dipanen sudah bisa mencapai size 40, seperti metode budidaya biasa yang memakan waktu 120 hari tadi,” katanya.

Keberhasilan membuat SOP pembudidayaan udang super intensif itu kini tengah dikembangkan dan disebarluaskan untuk diadopsi petani tambak udang lain, baik itu di Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Blitar, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Pacitan, maupun kawasan pesisir lain di Jatim.

“Metode bio teknologi berbasis herbal ini bahkan sudah banyak diadopsi petani tambak udang dari berbagai daerah di Indonesia,” tutur Emil.

Saat ini, volume produksi udang vaname di seluruh kawasan pesisir Jatim baru sekitar 93.000 ton berdasarkan estimasi produksi selama kurun 2019. Angka yang disebut terakhir ini lebih besar sekitar 3% dibandingkan data produksi udang vaname Jatim pada kurun 2018 yang mencapai 90.000 ton. Namun, kapasitas produksi itu menurut data Dinas Perikanan dan Kelautan Jatim masih belum mampu memenuhi kebutuhan industri pengolahan komoditas udang vaname yang mencapai 124.000 ton. Kemampuan produksi di Jatim saat ini hanya mampu memenuhi 70,8% kebutuhan industri pengolahan udang vaname di daerah tersebut.

Serba-Serbi Udang Vaname

Udang sendiri merupakan salah satu komoditas perikanan Indonesia yang berpotensi besar untuk dikembangkan. Saat ini, komoditas udang bernilai ekonomi mencapai USD250 miliar atau sekitar Rp3,6 triliun setiap tahun. Indonesia sendiri menempati urutan ketiga terbesar sebagai negara pengekspor udang di pasar dunia setelah Thailand dan India. Jenis udang yang diekspor oleh Indonesia di antaranya yaitu udang windu, udang vaname, dan jenis udang lainnya.

Khusus mengenai udang vaname, rata-rata jenis udang ini memiliki kontribusi volume ekspor mencapai 85%. Udang vaname memiliki karakteristik spesifik, seperti mampu hidup pada kisaran salinitas yang luas, mampu beradaptasi dengan lingkungan bersuhu rendah, memiliki tingkat keberlangsungan hidup yang tinggi, dan memiliki ketahanan yang cukup baik terhadap penyakit, sehingga cocok untuk dibudidayakan di tambak.

Udang vaname merupakan udang yang berasal dari daerah subtropis pantai barat Amerika, mulai dari Teluk California di Mexico bagian utara sampai pantai barat Guatemala, El Savador, Nicaragua, Kosta Rika di Amerika Tengah hingga ke Peru di Amerika Selatan. Di Indonesia, udang vaname mulai banyak dibudidayakan dan dijadikan sebagai pengganti udang windu (Penaeus monodon), saat produksi udang windu menurun sejak 1996 akibat penurunan kualitas lingkungan dan sering mengalami kematian massal akibat penyakit dan virus.

Dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Kelautan dan Perikanan RI. No. 41/2001 tentang Pelepasan Varietas Udang Vaname Sebagai Varietas Unggul, bahwa udang vaname merupakan udang varietas unggulan yang mampu meningkatkan produksi, pendapatan, dan kesejahteraan petani ikan. Udang vaname memiliki keunggulan diantaranya dapat mencapai ukuran besar, dapat tumbuh secepat udang windu (3 gram/minggu), dapat dibudidayakan pada kisaran salinitas yang lebar (0,5-45 ppt/part per thousand), kebutuhan protein yang lebih rendah (20-35%) dibanding udang windu, dan dapat ditebar dengan kepadatan tinggi hingga lebih dari 150 ekor/m2.

Secara morfologi, udang vaname memiliki tubuh berbuku-buku dan aktivitas berganti kulit (eksoskeleton) secara periodik (moulting). Bagian tubuh digunakan untuk makan, bergerak, membenamkan diri ke dalam lumpur (burrowing), menopang insang, dan organ sensor seperti antena dan antenula. Udang vaname juga memiliki tubuh yang dibalut kulit tipis keras dari bahan chitin berwarna putih kekuning-kuningan dengan kaki berwarna putih. Untuk ukuran tubuhnya sendiri bila dibandingkan dengan udang windu maupun udang jrebug, vaname memiliki ukuran yang lebih kecil.

Kepala udang vaname terdiri dari antenula, antena, mandibula (tulang rahang bawah), dan dua pasang maxillae (tulang rahang atas). Kepala udang vaname juga dilengkapi dengan tiga pasang maxillipied untuk makan dan lima pasang kaki untuk berjalan (periopoda). Abdomen (bagian perut) terdiri dari enam ruas. Pada bagian abdomen terdapat lima pasang (pleopoda) kaki renang, dan sepasang uropoda (ekor kipas) yang membentuk kipas bersama-sama telson (ekor).

Mengembalikan Kejayaan Udang

Pemerintah sendiri saat ini sedang gencar untuk membudidayakan udang vaname, dalam kegiatan panen udang vaname di Sulawesi Selatan belum lama ini, Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, bertekad mengembalikan kejayaan Indonesia di sektor budidaya udang. Ia menilai, sudah sewajarnya ekspor udang digenjot mengingat udang dapat memberikan share devisa hingga 40% dari total ekspor produk perikanan nasional. Pada 2017 misalnya, nilai ekspor udang Indonesia mencapai USD1,47 miliar.

Untuk mencapai angka itu, Edhy menjelaskan, ada beberapa upaya yang telah dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk mendukung pengembangan budidaya tambak udang di Indonesia. Beberapa dituangkan dalam program prioritas di antaranya budidaya udang berbasis klasterisasi, pengolahan irigasi tambak partisipatif (PITAP), bantuan induk bermutu dan benih unggul, serta bantuan aksavator.

Budidaya udang berbasis klaster merupakan bagian upaya KKP dalam mengembangkan prinsip budidaya secara bertanggung jawab dan berkelanjutan. Dengan prinsip klaster, pengelolaan budidaya udang dilakukan dalam satu kawasan dengan manajemen teknis dan usaha yang dikelola secara bersama. Tujuannya untuk meminimalisir kegagalan dan meningkatkan produktivitas, namun tetap ramah lingkungan.

PITAP juga dilakukan untuk meningkatkan fungsi jaringan saluran irigasi tambak milik pembudidaya yang mengalami penurunan. Dukungan infrastruktur ini akan meningkatkan luas lahan tambak yang terfasilitasi sumber daya air yang baik, sehingga berdampak terhadap peningkatan produksi budidaya. Di samping itu, PITAP akan mempermudah aksesibilitas dan konektivitas dalam pengembangan perikanan budidaya.

“Kita ingin daya saing udang kita naik dan target saya yakni memperluas pasar dan meningkatkan supply share kita di pasar ekspor. Ini tantangan kita ke depan,” katanya.

Oleh karena itu, KKP pun mendorong stakeholders perudangan nasional untuk konsisten dalam memenuhi persyaratan non tariff barrier melalui penerapan Indonesian Good Aquaculture Practice (IndoGAP), yang memuat cara budidaya ikan yang baik juga cara pembenihan ikan yang baik guna menjamin keberlanjutan pengembangan udang di Indonesia. Pembudidaya diminta untuk mulai menghindari penggunaan induk atau calon induk udang dari tambak untuk mengantisipasi sebaran penyakit.

Penataan sistem produksi juga diarahkan agar lebih integratif dan efisien yakni melalui pengembangan broodstock center, naupli center, baik milik pemerintah maupun swasta menghasilkan induk dan benur dengan performa bagus. Untuk mewujudkan para pembudidaya udang mendapatkan benur berkualitas dengan harga yang efisien. Edhy juga mengimbau pelaku usaha untuk mengembangkan inovasi teknologi dengan tetap mempertimbangkan daya dukung lingkungan.

Ia berkeyakinan, berapapun jumlah udang yang diproduksi, tidak akan terjadi over supply. Alasannya, udang dapat disimpan dan ketika dijual kembali harganya masih tinggi. Udang juga bisa diolah menjadi beraneka produk bernilai ekonomi tinggi lainnya.

“Mudah-mudahan nanti budidaya udang bisa menjadi alternatif usaha masyarakat. Tak butuh modal besar, dengan modal minim pun bisa dilakukan. Kalau swasta sudah terpanggil, saya rasa APBN tidak akan terlalu berarti karena pada dasarnya kekuatan APBN tidak akan lebih dari 15%. Di sini swasta-lah yang menjadi penggerak. Tentu saja APBN menjadi trigger. Jika butuh dukungan APBN, kami akan bantu,” pungkasnya.

Related News