• 29 March 2024

Mencoba Bangkitkan Garam Nasional

uploads/news/2019/12/mencoba-bangkitkan-garam-nasional-648367ca86175ce.jpg

Garam nasional sedang terpuruk, PT Garam (Persero) bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bekerja sama dalam teknologi produksi garam lokal.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bekerja sama dengan PT Garam (Persero) meresmikan Komisioning Pilot Project Garam Industri Terintegrasi Kapasitas 40.000 ton per tahun di Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur, Jumat (20/12). Kerja sama itu terkait peralatan produksi garam industri dengan sistem terintegrasi. Pilot project ini ditunjang dengan teknologi yang mampu meningkatkan kualitas produk garam lokal dari NaCl 88% menjadi garam industri dengan NaCl sebesar 98%.

Kepala BPPT, Hammam Riza menjelaskan, teknologi yang dirancang oleh BPPT dapat membantu petani garam dalam meningkatkan kualitas produk garam lokal. Sehingga, memiliki nilai tambah dan dapat bersaing dengan garam impor.

“Inovasi ini diharapkan dapat menjadi contoh untuk implementasi di sentra produksi garam lain di seluruh Indonesia dengan menggunakan desain BPPT ini sebagai referensi, maka permasalahan kualitas garam lokal dapat diselesaikan,” jelasnya dalam siaran pers-nya.

Baca juga: Pasta Bawang Menembus Arab Saudi

Hammam mengungkapkan, investasi pilot project ini mencapai Rp27 miliar berupa peralatan saja. Hal itu tak jadi masalah, demi meningkatkan kualitas garam petani dalam negeri. Perlu diketahui, garam krosok petani biasa dibeli dengan harga maksimum Rp800 per kilogram, dengan kualitas minimum 88% NaCl.

“Petani yang saat ini punya garam 90% NaCl dapat dengan mudah masuk ke pabrik yang sekarang berdiri di sini. Pilot project garam industri ini memiliki kapasitas 40.000 ton per tahun," ungkapnya.

Sementara itu, Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) sekaligus Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Bambang P.S. Brodjonegoro berharap, peresmian pilot project garam industri kali ini dapat mengurangi kebergantungan industri terhadap garam impor.

“Nantinya rumah tangga maupun perusahaan akan dengan senang hati membeli garam dari PT Garam ini dan yang lebih penting mengurangi kebergantungan impor. Karena garam yang dihasilkan mempunyai kualitas yang sama dengan garam yang selama ini diimpor,” harapnya.

Bambang mengaku sadar dengan berbagai drama kebutuhan garam di dalam negeri. Garam di dalam negeri sering dibenturkan dengan impor garam untuk kebutuhan industri. Apa lagi, soal nasib para petani garam. Dirinya menyebut, drama itu seolah menggambarkan pemerintah tak berpihak kepada petani garam, lantaran pemerintah melakukan impor garam.

“Dua isu ini dibenturkan satu sama lain. Sehingga berkesan pemerintah tidak hadir dan membiarkan begitu saja impor dan menjatuhkan harga garam rakyat. Impor garam industri yang membuat garam rakyat seolah-olah tidak berharga. Ada kesan importir diuntungkan, rakyat dirugikan,” bebernya.

Baca juga: Menuju Swasembada Minyak Kayu Putih

Bambang menjelaskan, garam lokal produksi petani garam di dalam negeri biasanya dibeli dengan harga murah, sebab kualitas garam yang dihasilkan di bawah standar nasional. Garam lokal tersebut diproduksi dengan peralatan seadanya, sehingga memiliki NaCl rendah. Itu yang menurut Bambang membuat harga jual menjadi rendah. Karena itu, ia menyebut, PT Garam dan BPPT memiliki tantangan untuk mencari strategi tepat dalam memasarkan garam hasil dari pilot project ini.

“Harus ada upaya meningkatkan kualitas dari garam itu sendiri. Pabrik ini bisa menghasilkan garam dengan berbagai tingkat, untuk berbagai keperluan. Itu lah yang disebut menyelesaikan masalah dari akarnya. Ini bisa mengurangi kebergantungan impor. Karena importir pasti gerah. Kita harus sama-sama berjuang mengurangi dominasi impor garam,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Utama PT Garam, Budi Sasongko berpendapat, untuk menyelesaikan masalah kebutuhan garam dalam negeri harus dengan cara hilirisasi. Saat ini, PT Garam dengan bimbingan BPPT telah melakukan hilirisasi tersebut.

Alhamdulillah, tiga tahun terakhir, kami berturut-turut selama dua tahun bisa membayar deviden untuk negara dan kami bisa meningkatkan hampir 200% dari tahun-tahun sebelumnya,” katanya.

 

Terpuruknya Garam Lokal

Dengan adanya pilot project ini, Budi Sasongko pun menginginkan petani garam di berbagai daerah dapat bangkit dari keterpurukan, serta mengajak berbagai pihak untuk mau menyerap hasil petani garam nusantara. Menurutnya, saat ini industri garam sedang terpuruk dan indikasinya terlihat dari harga garam yang saat ini hanya sekitar Rp400 per kilogram. Padahal, posisi harga tersebut terletak di sekitar sentra produksi komoditas garam di Madura. Sedangkan, untuk beban produksi yang harus dikeluarkan petani bisa di atas itu atau lebih dari Rp500 per kilogram.

“Bagi perusahaan, garam saat ini sedang terpuruk sepanjang sejarah,” kata Budi dalam Rapat Kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Komisi IV DPR RI, beberapa waktu lalu, seperti melansir ANTARA.

Dengan harga garam yang sedang terpuruk, Budi menginginkan DPR juga dapat mendorong berbagai pihak terkait untuk bisa menyerap hasil garam dalam negeri. Apalagi, PT Garam sempat tertidur selama 25 tahun dan pada tahun ini mereka menargetkan produksi 26.000 ton per tahun yang berasal dari lahan seluas 260 hektare. Lahan tersebut tidak produktif sejak 1994 dan sempat disewakan kepada pihak lainnya.

“Sebelum lahan disewakan atau pada tahun 1992, pabrik ini memproduksi garam halus kemasan dengan garam beryodium tiga ton per hari,” tuturnya.

Baca juga: Dilema Wacana Ekspor Lobster

Budi juga sempat menuturkan, pada 2000, PT Garam bahkan mampu memproduksi bittern yang merupakan salah satu diversifikasi dari hasil produksi garam.

“Pada tahun 2003, produksi bittern dihentikan, namun tetap memproduksi garam halus dan mulai merintis garam kurang natrium atau less sodium salt (LOSOSA) yaitu garam premium untuk kesehatan,” katanya.

Pihaknya optimistis mampu memproduksi 26.000 ton per tahun secara bertahap. Kapasitas produksi itu sejak September yang diproyeksikan mencapai 20% atau 5.200 ton. Kemudian, pada tahun kedua mencapai 60% atau 15.600 ton.

“Ini dibutuhkan tiga tahun untuk bisa capai target ini,” tambahnya.

Pencapaian target itu didukung empat pabrik yang berada di Gresik, Jawa Timur, yaitu Pabrik Camplong dengan kapasitas 63.000 ton per tahun; Pabrik Sampang, dengan kapasitas 11.800 ton per tahun; Pabrik Galus Segoromadu, dengan kapasitas 30.000 ton per tahun; dan Pabrik Lososa Segoromadu, dengan kapasitas 1.500 ton per tahun.

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo mengatakan, pihaknya juga telah menyiapkan beberapa rencana dalam rangka mendorong penyerapan garam nasional agar dapat menekan kegiatan impor. Penyerapan garam nasional tersebut berkaitan dengan harganya yang sedang jatuh, sehingga dilakukan upaya untuk meningkatkan kualitas dan produksi dari garam itu.

“Garam ini tidak ada badan yang menangani. Beras yang dikuasai Bulog saja harganya tidak terkontrol. Apalagi garam yang bebas sama sekali. Dengan adanya impor yang besar kemarin itu, tentunya akan berpengaruh,” katanya belum lama ini.

Baca juga: Kisah Laron di Musim Hujan

Edhy menyebutkan langkah-langkah yang akan diambil oleh pihaknya. Langkah pertama yaitu pihaknya beserta Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan berusaha memetakan wilayah yang memiliki potensi garam.

“Kita sudah memetakan di mana titik-titik sentral garam, karena petani garam kita kan besar, ada 19.000 orang dan hampir ada 27.000 hektare,” ujarnya.

Selain itu, pihaknya juga akan meningkatkan kualitas garam dengan menggunakan geomembrane beserta program pugarnya, sehingga bisa menghasilkan produksi dalam jumlah besar. Edhy mengatakan saat ini sudah ada 7.000 hektare lahan yang menggunakan geomembrane dengan satu hektare nya mampu menghasilkan produk sekitar 30% lebih banyak, serta garamnya berwarna lebih putih.

Related News