• 29 March 2024

Demi Mencegah Kebakaran Hutan

uploads/news/2019/12/demi-mencegah-kebakaran-hutan-848794b84250b84.jpg

Kebakaran hutan dan lahan hampir tiap tahun terjadi di Indonesia. Pencegahannya hanya satu, yaitu melakukan sistem pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB).

JAKARTA - Selasa (10/12) pagi, Wakil Bupati Barito Utara, Sugianto Panala Putra, memimpin pelaksanaan praktik menanam padi dengan sistem pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB) di Desa Malawaken, Kecamatan Teweh Tengah, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. Dalam acara yang digagas oleh Dinas Lingkungan Hidup Barito Utara itu Sugianto menegaskan jika biasanya pembukaan lahan dengan cara membakar memang dianggap lebih mudah, praktis, dan ekonomis, serta tidak mahal. Lain halnya dengan menggunakan metode tanpa pembakaran yang memerlukan biaya mahal dan peralatan modern seperti alat berat.

“Namun, upaya tersebut harus tetap dicoba untuk dipraktikkan dan diaplikasikan kepada kelompok tani. Sehingga, pada nantinya program pertanian secara menetap bisa terwujud, baik pertanian padi, jagung maupun komoditi pertanian,” ujar Sugianto membacakan sambutan dari Bupati Nadalsyah pada kegiatan itu.

Baca juga: Cegah Karhutla dengan Gerunggang

Kabupaten Barito Utara sendiri merupakan salah satu kabupaten yang cukup berhasil dalam menjalankan program penanaman jagung yang lokasinya tersebar di beberapa wilayah kecamatan. Selain itu, hasil dari komoditas jagung tersebut juga sangat membantu dalam meningkatkan kesejahteraan petani Barito Utara.

“Manfaat dari metode PLTB ini yaitu tidak menimbulkan pencemaran udara yang berasal dari asap pembakaran vegetasi, membantu menurunkan emisi gas rumah kaca terutama dari gas karbondioksida (CO2),” katanya.

Selain itu, PLTB juga dapat memperbaiki bahan organik tanah dan kadar air. Dalam jangka panjang, metode itu juga diklaim akan menjamin keberlangsungan dan kelestarian lingkungan. Dengan metode tersebut, materi hasil tebangan seperti cabang, dahan, ranting, dan daun yang telah membusuk, nantinya akan menjadi pupuk alami yang dapat membantu meningkatkan kesuburan tanah. Sejatinya, program PLTB sebelumnya juga sudah didorong oleh pemerintah pusat lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

“Perintah dari Bapak Presiden Joko Widodo untuk mengutamakan pencegahan. Saat ini, kami mempersiapkan tim bagaimana penyiapan lahan tanpa bakar,” kata Kepala Biro Humas KLHK, Djati Witjaksono Hadi, di Jakarta belum lama ini.

Baca juga: Demi Menjaga Kelestarian Hutan

Dengan adanya upaya tersebut, Djati pun berharap pemerintah dapat mengendalikan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang mengakibatkan kabut asap. Perintah dari Presiden Jokowi itu pun direalisasikan dengan dikeluarkannya surat edaran dari Menteri KLHK Siti Nurbaya kepada pemerintah daerah untuk memperketat izin dari perusahaan. Dikarenakan, selain pemberian izin, juga harus ada pengawasan dari pemda setempat. Djadi menambahkan sejauh ini pelaku pembakaran hutan dan lahan merupakan perusahaan dan KLHK sendiri sudah menyegel 53 perusahaan terkait.

Karhutla yang Merugikan

Indonesia pun dibuat rugi karena karhutla, menurut catatan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat, kejadian karhutla pada September lalu, mengakibatkan 6.025 warga menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Sejumlah bayi harus diungsikan karena menderita batuk, flu, sesak napas, dan muntah-muntah. Selain itu, masyarakat setempat juga mengalami kerugian sosial berupa hilangnya hutan sebagai sumber mata pencaharian, penghidupan dan identitas masyarakat adat.

Baca juga: Sang Penjaga Paru-Paru Kota

Tidak hanya itu, karhutla juga menyebabkan kerugian ekologi seperti, hilangnya habitat tempat keanekaragaman hayati flora dan fauna berada dan rusaknya ekosistem penting yang memberikan jasa lingkungan berupa udara dan air bersih beserta makanan dan obat-obatan. Ekonomi Indonesia juga ikut merugi dengan terjadinya karhutla ini, sumber devisa negara dari produk hutan kayu dan non-kayu, hingga ekowisata juga berkurang. Nama baik Indonesia di mata dunia internasional juga tercoreng dengan banjir protes dari negara tetangga yang ikut terimbas asap kebakaran hutan.

Apalagi berdasarkan data dari KLHK melalui SiPongi Karhutla Monitoring System, total luas karhutla di tahun 2019 mencapai 328.722 hektare. Jika tanpa dukungan dan inovasi penanganan, bahkan bisa menjadi bertambah buruk dengan tahun sebelumnya yaitu seluas 510.564,21 hektare. Berdasarkan pengalaman itu, Direktur Kebijakan dan Advokasi WWF Indonesia, Aditya Bayunanda menyebut, pembukaan lahan dengan cara dibakar harus diatasi sejak jauh hari. Menurutnya, praktik tersebut sudah menjadi pola dan ia berharap pihak yang berwenang seharusnya bisa menghentikan atau memutus kebiasaan itu.

“Pembukaan lahan dengan dibakar ini memang harus kita atasi. Kalau mereka mulai buka lahan dengan membakar itu menunggu kemarau atau musim kering. Polanya memang begitu,” katanya belum lama ini.

Sejarah Karhutla di Indonesia

Sejarah kebakaran hutan di Indonesia sendiri sudah lama terjadi. Seperti pada 1982-1983, yang kala itu terjadi kebakaran hutan dahsyat di Kalimantan. Meliputi, 550.000 hutan rawa gambut, 800.000 hektare hutan hujan tropika di dataran rendah, 1,2 juta hektare hutan tebang pilih, dan 750.000 hektare areal peladang berpindah, termasuk hutan sekunder.

Pada periode 1997-1998 kebakaran hutan terburuk terjadi di Indonesia dan dianggap sebagai kebakaran hutan terhebat di dunia. Estimasi total luasnya mencapai 25 juta hektare kawasan hutan. Menurut Institute of Southeast Asia Studies (ISAS) pada saat itu total kerugian ekonomi yang diderita Indonesia mencapai USD3,5 miliar.

Sejak saat itu, kebakaran lahan hutan dan gambut seperti tidak kunjung reda. Tiap tahun, provinsi di Indonesia yang memiliki gambut pasti terbakar. Pada 2015, terjadi kebakaran hutan dan lahan gambut dalam eskalasi besar karena faktor El Nino, kemarau panjang, dan praktik deforestrasi dengan sistem pembakaran lahan. Lebih dari 2,6 juta hektare hutan, lahan gambut, dan lainnya terbakar atau setara 4,5 kali lebih luas dari provinsi Bali.

Akibatnya, kerugian ekonomi yang diderita Indonesia mencapai lebih dari USD16 miliar atau sekitar Rp221 triliun yang meliputi pertanian, kehutanan, transportasi, perdagangan, industri, pariwisata dan sektor-sektor lainnya. Selain itu, kerugian lingkungan karena hilangnya keanekaragaman hayati diperkirakan mencapai USD295 juta.

Related News