• 28 March 2024

Cara Petani Sulteng Hadapi Kekeringan

Akibat gempa yang terjadi satu tahun lalu melanda Sulawesi Tengah, ribuan hektare lahan pertanian rusak dan mengering, hingga memaksa para petani memutar otak.

SIGI - Sehabis bencana yang terjadi lebih dari satu tahun yang lalu, kekeringan dan kesulitan mendapatkan sumber air menjadi masalah utama bagi para petani di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Sebab, ribuan petani sangat mengandalkan air yang berasal dari irigasi Gumbasa, rusak total akibat gempa bumi yang berkekuatan 7,4 skala richter.

Kondisi itu mengakibatkan sekitar 7.000 hektare lahan persawahan mengering dan bergelombang akibat dahsyatnya bencana yang melanda empat wilayah di Sulawesi Tengah tersebut. Hingga saat ini, masih banyak lahan yang potensial menjadi lahan tidur. Namun, sebagian lahan mulai kembali digarap dan dialihfungsikan oleh warga sekitar. Mereka menanam hortikultura (buah dan sayuran) dan palawija seperti jagung, yang hanya membutuhkan pasokan air jauh lebih rendah dibanding sawah.

Salah satunya dilakukan oleh para petani di Desa Potoya, Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi. Untuk bangkit dari keterpurukan, para petani di desa ini mulai beralih ke tanaman yang cepat panen dan produktif. Langkah yang dilakukan oleh para petani, bisa dibilang sangat tepat. Karena, perbaikan jaringan irigasi Gumbasa yang rusak total diperkirakan selesai hingga 2022 mendatang. Selain itu, juga langkah itu sebagai solusi agar penghasilan dan kegiatan bercocoktanam terus berjalan selama kekeringan terjadi.

"Mungkin saja akan lebih lama lagi, kami harus tetap bertani untuk kelangsungan hidup kami," kata Agus di kebun miliknya, Rabu (13/11) kemarin.

Di atas lahan seluas lebih dari satu hektare, Agus menanamnya dengan jagung. Menurutnya, penanaman bibit jenis palawija dan hortikultura membutuhkan waktu yang bervariasi, mulai dari tiga hingga empat bulan untuk satu masa tanam.

"Untuk jagung, panennya per 70 hari, rica lima bulan, terong tiga bulan dan sawi 28 hari," jelasnya secara rinci.

Sehabis bencana, kata Agus, ia sudah dua kali mendapatkan hasil panen dari jagung-nya berkisar 40-45 karung dengan berat masing-masing 100 kilogram. "Kami dapatnya Rp150 ribu per karung, tinggal dikalikan saja, Alhamdulillah bisa mencukupi keluarga," katanya.

Sedangkan, untuk sumber air pada tanaman, para petani rata-rata menggunakan sumur yang disedot menggunakan mesin. Namun, Agus harus mengeluarkan biaya lagi sebesar Rp100.000 per minggu untuk menyiram jagungnya yang disiram tiap minggu

"Itu biaya bahan bakar, untuk sekali siram itu ongkos bahan bakar-nya Rp100.000,"

Berdasarkan catatan Badan Penyuluhan Pertanian (BPP) Kecamatan Dolo, di wilayahnya terdiri dari 1.500 petani dengan lahan pertanian yang ditanami hortikultura seluas 1.100 hektare Namun, dari ribuan hektare lahan tersebut, sekitar 300 hektare saja yang dapat dimanfaatkan karena adanya pencairan tanah akibat gempa bumi. Akibat rusaknya irigasi Gumbasa, kini ribuan hektare lahan persawahan di Sigi masih mengering seperti di Kecamatan Dolo, Sigi Biromaru,dan Tanambulava. (FS)

Related News