• 18 April 2024

Bantu Petani melalui Fintech “Crowde”

uploads/news/2021/05/bantu-petani-melalui-fintech-722791a20ad9f07.jpg

“Karena dulu saya berprofesi sebagai petani, dan telah paham susahnya bagaimana menjadi petani. Kemudian, akhirnya timbul ide bagaimana caranya saya bisa membantu sektor pertanian..”

JAKARTA – Seiring dengan berkembang pesatnya teknologi, kini masyarakat dapat menginvestasikan dana yang kalian punya untuk ikut mendukung sektor pertanian Indonesia. Nantinya, dana tersebut akan digunakan para petani untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam menunjang hasil produksi.

Melalui layanan finansial berbasis teknologi, Yohanes Sugihtononugroho, anak muda CEO dari PT Crowde Membangun Bangsa atau Crowde membangun perusahan rintisan yang berplatform menghimpun dana dari masyarakat sebagai modal kerja petani dan peternak di Indonesia.

“Karena dulu saya berprofesi sebagai petani, dan telah paham susahnya bagaimana menjadi petani. Banyak sekali gagalnya saat menjadi petani serta saya merasa kalau pertanian itu sama sekali tidak ada yang mengurus. Kemudian, akhirnya timbul ide bagaimana caranya saya bisa membantu pertanian tanpa harus jadi petani. Dan kemudian saya melihat bahwa salah satu kendalanya ada di pendanaan. Lalu saya bentuk satu platform dimana petani jadi lebih mudah mengakses pendanaan sehingga lebih mudah di akses,” ungkap Yohanes, melalui wawancara ekslusif dengan Jagadtani.id.

Baca Juga : Jamu Joss Ala Petani Kendal

Lulusan Universitas Prasetiya Mulya Fakultas Ekonomi ini pun menambahkan “Mulai Crowde dari tahun 2015, awalnya hanya 30 petani yang percaya, petani dari bogor. Sekarang sudah di akses oleh petani di seluruh Indonesia, kurang lebih 2000 petani Indonesia yang telah bergabung,” tambah Yohanes.

Melalui startup peer to peer (P2P) lending yang ia kembangkan, Yohanes berhasil menyelamatkan ribuan petani melalui para Investor yang berhasil ia rangkul.

“Nama Crowde sendiri berasal dari kata kerumunan, saya namakan begitu karena adanya rasa gotong royong yang ada didalam diri masyarakat Indonesia,” ujarnya.

Baca Juga: Jenis Ikan Penunda Lapar

Pria yang mendapat penghargaan dalam daftar 30 orang berusia 30 tahun paling berpengaruh di Asia versi Forbes pada 2018 silam ini mengatakan, kegagalan pasti pernah dirasakan oleh semua orang. Namun, menghadapi tantangan yang besar pasti akan selalu diiringi oleh masalah yang besar di kemudian hari.

“Jadi semua kegagalan dan masalah itu tergantung dari fasenya, mungkin di fase-fase awal saya kesulitan membuat para petani percaya dengan crowde karna telah banyak juga petani-petani yang merasa kecewa dengan beberapa pihak terkait pendanaan, kemudian saya jadi harus mengambil rasa kepercayaan itu kembali dari para petani. Saya juga pernah mendapat masalah dari para tengkulak, lintah darat, kemudian pernah punya kantor di Bogor dan di bakar. Jadi sebenarnya telah banyak sekali tantangan yang dilewati. Namun untuk saya, semakin besar tantangannya, berarti semakin besar masalah yang harus saya selesaikan,” jelasnya.

Baca Juga : Diet Enak dengan Jamur Tiram

Pria yang baru berumur 26 tahun ini bahkan mengajak para tengkulak untuk merubah cara kerja mereka yang awalnya bekerja sebagai tengkulak menjadi agen perubahan dari bagian Crowde itu sendiri. Ia bahkan mengaku telah bekerja sama dengan ratusan tengkulak dari seluruh daerah di Indonesia untuk ikut berpartisipasi menjadikan sistem petanian jadi lebih baik lagi. Yohanes mengatakan, butuh waktu dan butuh kesabaran untuk bisa mengatasi pertanian negara.

“Yang lebih saya fokuskan dari pertanian itu mengenai makanan. Setelah menelisik lebih jauh dan kita melihat bahwa ternyata makanan ini kan dari para petani ya, namun sedihnya tidak ada yang mengurus para petani. Dan setelah sadar bahwa bisa jadi tidak ada yang meregenerasi petani itu sendiri, nantinya akan menimbulkan masalah yang cukup besar dalam waktu sepuluh tahun kedepan dimana banyak sekali pertumbuhan manusia namun tidak diimbangi dengan pertumbuhan makanan. Itu yang menjadi fokus dari Crowde,” jelas Yohanes.

Baca Juga : Surga Kopi Arabika di Cianjur

“Regenerasi petani kita sangat buruk, jadi kita lihat rata-rata petani itu umurnya 50 tahunan keatas, kita tidak bisa menyalahkan tidak adanya regenerasi petani karena memang culture, apalagi banyak petani yang bilang ke anak-anaknya seperti jangan menjadi seperti bapak atau seperti mereka orangtuanya miskin karena menjadi petani. Jadilah dokter, jadilah arsitek, pengacara dll. Padahal yang perlu kita rubah adalah sistem dan industry pertaniannya agar menjadi lebih baik, sehingga bisa mengajak masuk generasi muda sebagai salah satu bidang yang menjanjikan,” tutupnya.

Related News