• 24 April 2024

Berlian Hitam Pegunungan Bintang

Kecintaannya terhadap kopi mengantarkan Marhaendro Siswoutomo bertemu dengan harta karun dari Pegunungan Bintang, Oksibil, Papua.

 

YOGYAKARTA - Marhaendro Siswoutomo masih ingat betul bagaimana lima tahun yang lalu ia menemukan sebuah harta emas di sekitar Kabupaten Pegunungan Bintang, Oksibil, Papua. Saat itu Marhaendro yang masih bertugas sebagai konsultan di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pariwisata dan kebudayaan mendapat tugas untuk meneliti kebudayaan di Pegunungan Bintang menemukan pohon kopi di hutan.

“Saya ambil lalu saya bawa pulang ke Jogja, terus saya panggil teman-teman (pecinta) kopi, mereka langsung kaget dan bertanya, ini kopi apa? Kok aneh? Lebih cream. Awalnya saya pikir itu kopi arabika. Tapi setelah diidentifikasi bentuk daunnya, bentuk bijinya, baru ketahuan kalau itu Typica yang sudah dianggap punah,” ungkapnya saat ditemui di acara Malioboro Coffee Night 2019, Yogyakarta, Senin (30/9).

Marhaendro juga bercerita jika kopi Typica atau yang juga dikenal sebagai “Blue Mountain” di Jamaika memang sudah ada sejak dulu, tepatnya saat zaman misionaris dan zionis ke Papua. Ketika itu, para misionaris datang ke Papua membawa kopi, kemudian ditanam. Belum ditanam, lanjut Marhaendro, Belanda sudah keburu diusir dari Papua.

Baru setelah pemekaran Papua pada 2007, banyak pemuda Papua yang ditugaskan ke pulau Jawa dan mereka pun kaget karena melihat biji kopi yang ternyata banyak terdapat di Papua. “Jadi selama ini mereka tidak tahu. Selama ini mereka hanya menggunakan kopi untuk menghilangkan bulu kulit dan dapat memutihkan kulit. Untuk anak kecil juga dengan buah kopi karena manis sekali kalau dikunyah,”

Menurut pria yang memiliki dua anak ini, ketersediaan Typica di dunia masih tergolong kecil yaitu sekitar 0,5% dari ketersediaan kopi di seluruh dunia. Karena itu, Marhaendro pun memutuskan untuk serius berbisnis kopi karena mendapat respon positif dari kawan-kawannya.  “Lalu saya buka kedai di Yogyakarta. Sempat punya kedai namanya Surami di Parangtritis tapi sudah saya tutup, lalu saya buka kedai lagi namanya Manggara di Malioboro. Setelah itu saya buka lagi di dekat Universitas Politeknik LPP,” katanya.

Meski demikian, mendatangkan kopi dari Pegunungan Bintang bukan perkara mudah. Marhaendro harus merogoh kantong dalam-dalam untuk mendatangkannya karena biaya transportasi yang mahal. Karena itu, harganya pun menurutnya saat ini mencapai Rp600 ribu per kilogram. “Makanya saya tidak menjual green bean, karena orang pasti ngomel-ngomel karena mahal. Saya jual roast bean yang mendekati harga normal saja masih diomeli. Tapi saya tetap berjuang, karena kalau tidak ada orang yang nekat ya tidak jalan,” ujarnya.

Selain itu, jumlah yang dikirimkan dari Pegunungan Bintang ke Yogyakarta juga tidak menentu. Menurut Marhaendro, semua itu tergantung pada ketersediaan di masyarakat. “Kalau di sana stoknya ada 2 ton, lalu tidak ada mesin huller, jadi masyarakatnya harus mengupas satu per satu. Jadi lama sekali, itu pun juga harus menunggu ketersediaan pesawat. Bulan lalu saja saya harus memesan dari bulan sebelumnya. Itu juga stok saya yang di sini dalam 1 bulan sebanyak 100 kg habis dalam 1 minggu, jadi pusing saya,” jelasnya.

Dirinya juga menjelaskan jika ia kesulitan dalam urusan transportasi dari Papua ke Yogyakarta. Bayangkan saja, ia harus menunggu ketersediaan pesawat kecil atau perintis yang ia sewa senilai Rp48 juta yang tidak tersedia tiap hari, dari desa yang membudidayakan kopi Typica ke Jayapura. Dari Jayapura ke Yogyakarta, menurut Marhaendro, ia harus mengeluarkan dana sebesar Rp50 ribu per kilogram.

Meski demikian, Marhaendro tak kehabisan akal untuk menutupi ongkos kirim yang besar. Dirinya membuat harga kopi tersendiri ketika kopi itu sudah sampai ke Yogyakarta. Selain itu, Marhaendro juga tak segan menerima mahasiswa asal Papua yang ingin magang di tempatnya. “Para pelajar dari Papua memiliki organisasi bernama Komapo (Komunitas Pelajar dan Mahasiswa Aplim Aplom). Aplim Aplom itu berasal dari kata Gunung Mandala (Papua) yang artinya laki-laki dan perempuan,” jelasnya.

Apalagi, saat ini kopi yang ditemukan Marhaendro itu juga sudah ia ekspor ke luar negeri seperti ke Rusia, Jerman, Jepang, namun hanya dalam jumlah sedikit baik itu 50 kilogram, 10 kilogram. “Kalau di atas 100 kilogram saya takut kesulitan di Kantor Pos, jadi saya tidak mau kesulitan mengurus dokumennya,” ungkapnya.

Selain itu, dirinya saat ini juga sedang berdiskusi dengan para ketua adat di Papua untuk membangun coffee shop seperti di Fakfak, Jayapura, lalu di Sorong. “Tapi itu jangka panjang, yang penting sekarang adik-adik (dari Papua) ini sudah siap semua dan secara manajemen sudah complete, baru saya suruh pulang ke Papua untuk membangun tanah kelahirannya,” tutupnya.

Related News