• 20 April 2024

Sentuhan Kultur Jaringan Benih Porang

uploads/news/2021/03/sentuhan-kultur-jaringan-benih-77101dcf9a053c8.jpeg

Perbanyakan benih porang biasanya menggunakan katak atau bulbil. Ketika kebutuhan benih tidak dapat terpenuhi secara konvensional, harus ada sentuhan teknologi dalam hal ini adalah teknik kultur jaringan.”

JAKARTA - Budidaya tanaman porang belakangan ini semakin diminati para petani.

Harga porang iris kering yang terus melonjak dari tahun ke tahun, membuat banyak petani banting setir menanam porang.

Namun, budidaya tanaman porang terhambat kelangkaan dan mahalnya harga benih atau bibit porang.

Selama ini, petani mendapatkan benih porang dari umbi, katak atau bulbil atau biji pada bunga porang.

Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas dan menjamin ketersediaan bibit porang, yaitu dengan menerapkan teknik kultur jaringan.

Baca juga: Budidaya Porang dengan Bulbi

Menurut peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan), Kementerian Pertanian (Kementan) Ika Roostika Tambunan, tanaman porang (Amorphophallus muelleri) merupakan tanaman jenis umbi-umbian yang bernilai ekonomi tinggi.

Biasanya, porang diekspor dalam bentuk chips atau tepung.

Dalam industri pangan, porang bisa diolah menjadi tepung, shirataki, konnyaku, dan gelling agent.

Dalam industri industri obat-obatan porang berkhasiat untuk menurunkan kolesterol dan gula darah, mencegah kanker, serta menurunkan obesitas dan mengatasi sembelit.

Sementara, dalam industri lainnya, porang menjadi bahan baku lem, pelapis anti air, cat, negative film, pita seluloid, dan kosmetika mewah.

Ika juga mengatakan, saat ini tanaman porang menjadi booming karena kebutuhannya sangat tinggi, hingga menimbulkan kelangkaan benih.

Biasanya petani menggunakan benih alami dari umbi dan katak atau bulbil yang harganya mencapai Rp 150.000-400.000 per kilogram.

Sementara, kebutuhan benih porang untuk 1 hektar lahan sekitar 200 kilogram, sehingga petani harus mengeluarkan biaya antara Rp 30.000.000-80.000.000.

Perbanyakan benih porang biasanya menggunakan katak atau bulbil. Ketika kebutuhan benih tidak dapat terpenuhi secara konvensional, harus ada sentuhan teknologi dalam hal ini adalah teknik kultur jaringan,” kata Ika dalam keterangan Balitbangtan belum lama ini.

Kultur jaringan, terangnya, merupakan teknik mengisolasi bagian tanaman berupa protoplasma atau sel telanjang, sel, jaringan, atau organ, secara aseptis dan ditumbuhkan secara in vitro (dalam botol) hingga membentuk planlet (tanaman utuh).

Sejak November 2019-Desember 2020, Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB Biogen) berkolaborasi dengan Direktorat Perbenihan untuk melakukan uji produksi benih porang melalui kultur jaringan.

Perbanyakan melalui kultur jaringan memiliki keunggulan, karena bisa dilakukan secara masal dalam waktu cepat, tidak tergantung pada musim, menghasilkan bibit sesuai dengan induknya, seragam, bebas hama dan penyakit, serta mudah untuk didistribusikan (khususnya dalam bentuk planlet). Di samping itu, karena adanya  zat pengatur tumbuh pada saat ditumbuhkan secara in vitro maka pertumbuhan juga menjadi lebih cepat,” jelas Ika.

Tahapan kultur jaringan untuk perbanyakan tanaman meliputi pemilihan tanaman induk, sterilisasi eksplan atau bahan tanaman, penanaman in vitro atau di laboratorium, subkultur (multiplikasi tunas), induksi perakaran hingga menjadi planlet, aklimatisasi di rumah kasa atau kaca, dan transplanting atau pemindahan ke lapang.

Tanaman hasil kultur jaringan, lanjutnya, memerlukan tahapan aklimatisasi supaya bisa beradaptasi pada lingkungan sebelum dipindahkan ke lapang.

Proses aklimatisasi bisa menggunakan media tanam berupa campuran tanah dan pupuk kandang atau kompos kemudian disungkup dengan plastik selama satu bulan.

Sementara itu, Dewan Pertimbangan Perkumpulan Petani Porang Nusantara (PPPN), Dahlan Iskan, sangat mengapresiasi upaya yang dilakukan oleh BB Biogen melalui teknologi kultur jaringan untuk mengatasi kelangkaan benih porang.

Abey Ridwan, salah satu petani yang sudah puluhan tahun menekuni budidaya porang mengatakan, semakin banyaknya petani yang banting setir menanam porang bisa menyebabkan melimpahnya ketersediaan katak atau bulbil pada lima tahun mendatang.

Selain itu, pembangunan pabrik pengolahan porang belum merata di setiap provinsi.

Menurutnya, saat ini terjadi sentralisasi pabrik pengolahan porang di Jawa Timur.

Saat ini banyak petani yang menanam porang, supply akan jauh lebih besar dari demand. Walaupun di dunia kebutuhannya besar, namun sebelum diekspor porang harus masuk pabrik di Indonesia yang akan memproses porang agar siap ekspor,” tuturnya.

Permasalahan lainnya, lanjutnya, yaitu meningkatkan kadar glukomanan, serta pengembangan produk turunan untuk memberi nilai tambah porang misalnya untuk makanan, minuman, farmasi, industri, maupun kosmetik.

Menjawab permasalahan Abey, Ika pun mengatakan, tantangan ke depan dalam pengembangan tanaman porang yaitu memacu riset pengolahan porang dan produk turunannya.

Menurutnya, jika ketersediaan melimpah, bagaimana mengolahnya agar tidak terbuang percuma, misalnya menjadi bioetanol.

Ini menjadi tantangan bagi peneliti untuk menggarap supaya bisa dimanfaatkan dan tidak terbuang begitu saja,” tuturnya.

Baca juga: Kultur Jaringan, Metode Melipatgandakan Tanaman

Selain itu, dirinya juga sedang mencari cara agar teknologi kultur jaringan bisa diaplikasikan, bukan hanya untuk perbanyakan benih, tetapi untuk pemuliaan.

Sehingga, bisa menghasilkan varietas porang dengan glukomanan tinggi.

Namun, perakitan varietas ini membutuhkan proses yang panjang, khususnya terkait dengan siklus hidup tanaman porang yang hanya tumbuh pada satu musim atau satu tahun.

Kepala Balitbangtan, Fadjry Djufry mengatakan, pihaknya selalu siap mengantisipasi kebutuhan masyarakat seperti porang yang mendadak booming saat ini.

Related News