• 16 April 2024

Pekerjaan Rumah Besar Ekonomi Perikanan

uploads/news/2021/01/pekerjaan-rumah-kkp-di-92311a7e777408b.jpg

Disrupsi kebijakan seperti seolah-olah menyiratkan bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)  tidak mampu mendesain sistem tata kelola yang baik, seimbang dan berdaya saing yang kuat.

Pergeseran menteri perikanan dan kelautan dalam fase kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo, dianggap oleh beberapa pengamat tidak memiliki sistem tata kelola yang sehat.

Sehat tidak hanya dalam soal birokrasi, namun juga dalam fungsi ekonomi.

Menurut Kepala Pusat Studi Bencana (PSB) sekaligus peneliti senior di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL), Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM), Institut Pertanian Bogor (IPB) University, tantangan pembangunan perikanan di 2021 yaitu menciptakan iklim usaha yang berbasis keterukuran dan keterlacakan dengan mempertimbangkan keberlanjutan dan keadilan.

Baca juga: Raja Menara Menjadi Nahkoda KKP

Karena itu, lanjutnya, pembangunan perikanan harus tetap dirancang dalam konteks sustainability untuk menciptakan perikanan yang berkeadilan (green economy). 

Konteks ini tetap menempatkan sumberdaya perikanan sebagai basis dengan dukungan ekosistem yang sehat dan mensejahterakan.

Pria yang sering disapa Yon ini melihat, paling tidak ada tiga ciri penting yang memperlihatkan tidak sehatnya ekosistem ekonomi perikanan selama ini.

Pertama soal disrupsi kebijakan, kedua soal kesehatan ekosistem, dan ketiga soal pemerataan keadilan dari usaha perikanan yang tidak sehat.

"Disrupsi kebijakan seperti seolah-olah menyiratkan bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)  tidak mampu mendesain sistem tata kelola yang baik, seimbang dan berdaya saing yang kuat. Fase kepemimpinan Bu Susi Pudjiastuti, pengawalan terhadap fungsi konservasi begitu kuat, namun di sisi ekonomi mengalami perlambatan termasuk manajemen data perikanan. Sistem one data tidak mampu terselesaikan dengan baik dan sulit mengeksekusi kebijakan yang tepat,” jelasnya dalam keterangan resmi IPB University belum lama ini.

Begitu juga era Eddy Prabowo yang begitu progresif pada dorongan ekonomi yang berujung pada disharmoni tata kelola ekspor. Disrupsi kebijakan yang terlihat di antaranya adalah praktik implementasi Permen KP No 56 tahun 2014 tentang kebijakan pelarangan kapal asing yang multitafsir dan tidak ada dukungan dari galangan kapal buatan dalam negeri. Sehingga potensi ikan di wilayah Regional Fisheries Management Organization (RFMO) tidak termanfaatkan dengan optimal. Begitu juga permen KP No 56 Tahun 2016 tentang Lobster era Bu Susi dan Permen KP No. 12 Tahun 2020 era Edy Prabowo yang mekanisme pelaksanaannya tidak memberikan kemapanan perikanan,” lanjutnya.

Menurutnya, kebijakan tarif Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) Perikanan dari Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2015 harus dikaji ulang, agar investor berminat dalam investasi perikanan dan kelautan terutama untuk kapal di atas 500 gross tonnage (GT).

Mekanisme bayar di muka, lanjutnya, bisa diubah dengan mekanisme bayar di landing port untuk memastikan jejak ketertelusuran volume dan nilai hasil tangkapan.

Yon menambahkan, kesehatan ekosistem yang dimulai sejak era berdirinya KKP dan begitu masif pengawalannya di era Menteri Susi merupakan perspektif kesehatan ekonomi masa depan.

Kita tengok Sustainable Development Goals (SDGs) 14, jika kesehatan masyarakat dimulai dari adanya ekosistem dan lingkungan yang sehat pada wilayah pesisir dan laut. Ekosistem mangrove yang kritis lebih kurang 1,8 juta hektar dan 64% terumbu karang yang rusak harus dipulihkan,” ungkapnya.

Hal itu dikarenakan kedua ekosistem ini diperkirakan akan mampu mengamankan 16,2 juta ton ikan (basis daya dukung pertumbuhan).

Potensi ini menurutnya belum termasuk potensi ikan di luar ekosistem. 

Jika potensi stok saat ini diasumsikan di luar kedua ekosistem ini, maka dugaan potensi dapat mencapai 28 juta ton lebih.

Yon berpendapat, jika potensi pendapatan negara 1% dari stok yang ada (asumsi harga rata-rata Rp 10.000 per kilogram), maka diperkirakan potensi pendapatan mencapai Rp 28 triliun.

Untuk memastikan dugaan potensi ini dan prakiraan potensi pendapatan, maka perlu disiapkan mekanisme data dan pencatatan yang lebih baik dan terkelola.

"Ekosistem yang sehat, nyata akan memberikan dampak ekonomi yang sehat, berdaya saing, berkeadilan dan berkelanjutan. Keadilan yang dimaksud tidak hanya soal keadilan ekonomi untuk mendapatkan kesejahteraan, dan keadilan dalam tanggung jawab menjaga ekosistem agar tetap sehat. Green economy bidang perikanan menekankan pada optimalisasi pemanfaatan yang lestari dan berkelanjutan serta berkeadilan," imbuhnya.

Lebih lanjut dikatakannya, era pembangunan perikanan 2021 harus dimulai dengan perspektif pembangunan ekonomi yang sehat.

Menurutnya, perspektif itu dapat dilihat dari lima indikator utama yaitu, kebijakan yang sehat, ekosistem yang sehat, investasi yang sehat, sumber daya manusia yang sehat dan kelima pasar yang sehat dan berdaya saing.

Kebijakan yang sehat, lanjutnya, yaitu kebijakan yang mampu menjadi jembatan dari ketertinggalan, kemiskinan, kelemahan dan dari hilangnya daya saing.

Kebijakan yang sehat akan memberikan ruang yang cukup untuk produksi, investasi dan konservasi hingga sustain.  

Untuk itu, penguatan fungsi dan jasa ekosistem kelautan harus dilakukan dalam spektrum berbasis sumberdaya dan ekosistem yang sehat.

Untuk bangsa besar seperti Indonesia, maka skema pembangunan perikanan berbasis wilayah pengelolaan perikanan (WPP) akan mampu menempatkan sistem produksi sejalan dengan konservasi dan pengentasan kemiskinan.

"Kebijakan yang sehat akan mendorong terciptanya ekosistem yang sehat. Sebanyak 1,8 juta hektar mangrove dan 1,625 juta hektar terumbu karang harus segera dipulihkan. Kebijakan dan ekosistem yang sehat akan menciptakan investasi sehat. Stok yang terukur, daya dukung yang baik, serta kawasan yang sehat akan menjadi daya tarik investasi," ungkapnya.

Menurut Yon, yang tidak boleh dilupakan yaitu sumber daya manusia (SDM) yang sehat.

SDM yang sehat menurutnya, SDM yang mampu menyiapkan sistem kebijakan, mengelola ekosistem dan merancang investasi yang terukur.

Kesehatan ekosistem juga termasuk kesehatan tata kelola kelembagaan yang bersifat multi-stakeholder.

Desain pembangunan perikanan berbasis WPP merupakan platform untuk menciptakan iklim kerjasama secara sinergi.

Baca juga: Panen Perdana Kobia di Pangandaran

Selain itu, sinergi antara pemerintah, pengusaha, SCO, dan perguruan tinggi menjadi energi bekerjanya tata kelola yang baik.

Sinergi ini dapat juga disebut sebagai sebuah mekanisme co-creation tata kelola kelembagaan yang sehat berbasis WPP.

"Ketika data, ekosistem dan kebijakan sudah sehat dan didukung ekosistem yang baik, maka pasar secara otomatis akan mudah disiapkan. Permintaan produk bersertifikasi dan standar lingkungan akan mudah diwujudkan jika semua sudah sehat. Dengan sendirinya produk dan komoditas perikanan Indonesia akan memiliki daya saing yang akan mampu mengangkat sektor perikanan ke level yang lebih tinggi. Kesehatan ekonomi perikanan sudah mutlak dimulai dari data yang sehat, koordinasi yang sehat, tata kelola yang sehat, kebijakan yang sehat. Untuk itu prioritaskan data yang sehat dan berkualitas dengan paket pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan," tandasnya. 

 

Related News