• 27 April 2024

Melindungi Hutan dari Food Estate

uploads/news/2020/11/melindungi-hutan-dari-food-870830e6a7d834b.jpg

Permen itu menambah varian perizinan baru di kawasan hutan.

JAKARTA - Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Nur Hidayati, mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya, untuk membatalkan Peraturan Menteri Nomor 24 Tahun 2020 yang mengizinkan penggunaan kawasan hutan lindung digunakan untuk proyek food estate atau lumbung pangan.

Menurutnya konsekuensi dari penerbitan Permen tersebut, yaitu naiknya laju penebangan hutan alam, selain akan memperkuat dominasi korporasi terhadap kawasan hutan Indonesia.

Baca juga: Mimpi Besar lewat Food Estate

Permen itu menambah varian perizinan baru di kawasan hutan. Selain itu, pengecualian kewajiban pembayaran provinsi sumber daya hutan (PSDH) atau dana reboisasi (DR) menjadi catatan penting jika negara semakin memperlihatkan pada investasi,” sebutnya seperti melansir ANTARA belum lama ini.

Saat ini, menurutnya, ada 33,45 juta hektare atau 26,57% kawasan hutan telah dikapling untuk kepentingan bisnis korporasi.

Dalam waktu 20 tahun belakangan, tercatat lebih dari 26 juta hektare kawasan hutan telah dilepas untuk kepentingan bisnis.

Dari sisi substansi, Walhi mempersoalkan enam masalh mendasar dari Permen LHK tersebut.

Pertama, pasal 1 yang memahami jika food estate merupakan usaha pangan skala luas, sehingga pasti memiliki dampak deforestasi yang signifikan.

Kedua, argumentasi yang dimasukkan dalam bagian “menambang” yang berkaitan dengan pandemi COVID-19 menurutnya tidak tepat.

Sentralisasi pengelolaan pangan tentunya akan menyisakan masalah distribusi yang akan memperbesar biaya dalam rantai pasokan.

Menurut Nur Hidayati, harusnya persoalan pangan dikembalikan pada petani, tidak disentralisasi, dan harus berbasis diversifikasi pangan.

Hal tersebut, dianggap tidak mungkin dilakukan dengan pendekatan skala luas.

Ketiga, pada pasal 4 dan 9, mengenai “pernyataan komitmen” izin lingkungan dijadikan dasar untuk mengeluarkan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHKP) dianggap tidak tepat.

Menurutnya tidak logis jika “pernyataan komitmen” dijadikan dasar, sementara alih fungsi kawasan hutan langsung dilakukan.

Keempat, pada pasal 4, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Cepat dianggap tidak berdasar, serta rentan menghasilkan kajian yang tidak akurat.

Istilah tersebut menurutnya beberapa kali muncul bukan hanya pada proyek food estate, tetapi juga pada proyek Ibu Kota Negara (IKN).

Kelima, skema perubahan peruntukan kawasan hutan dilakukan di kawasan hutan dengan fungsi produksi yang dapat dikonvensi.

Sedangkan, hak pengelolaan KHKP dilakukan di kawasan hutan fungsi produksi dan lindung.

Khusus untuk KHKP, menurutnya hal itu berkedok dengan program perhutanan sosial dan tanah objek reforma agraria (pasal 20 huruf c).

Pada pasal 31, KHKP diberi durasi penguasaan ruang paling lama 20 tahun dan dapat diperpanjang.

Keenam, hutan-hutan alam yang ditebang pun diberi kemungkinan insentif tidak membayar kewajiban PSDH atau DR seperti pada Pasal 17 ayat (3) dan Pasal 30 ayat (3) Permen LHK yang ditetapkan pada 26 Oktober 2020 dan disahkan pada 2 November 2020 itu.

Di sisi lain Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) lewat Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Sigit Hardwinarto menjelaskan mengenai terbitnya PermenLHK Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate.

Menurutnya perubahan kawasan hutan untuk pembangunan food estate dilakukan pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK).

Dengan syarat, harus melewati kajian tim terpadu, kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) dan menyelesaikan UKL UPL (upaya pengelolaan lingkungan - upaya pemantauan lingkungan),” urainya.

Perubahan peruntukan kawasan hutan pada kawasan HPK tidak dapat apabila, korporasi gagal melewati proses UKL-UPL.

Selain itu, korporasi juga perlu mengamankan kawasan HPK yang dilepaskan.

Dalam hal untuk kepentingan reforma agraria, selanjutnya areal yang telah siap untuk areal tanaman pangan, dapat dilakukan redistribusi tanah kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” tambahnya.

Sementara itu, kawasan hutan lindung (HL) yang akan digunakan untuk pembangunan food estate merupakan kawasan HL yang sudah tidak sepenuhnya berfungsi lindung, yaitu kawasan HL yang terbuka atau terdegradasi atau sudah tidak ada tegakkan hutan.

Untuk itu, kawasan hutan lindung yang akan digunakan sebagai areal food estate tidak harus dilakukan dengan pelepasan kawasan hutan. Namun, yang terpenting harus dilakukan di kawasan hutan lindung yang memenuhi syarat sebagai hutan yang sudah tidak ada tegakkan pohonnya atau fungsi hutan lindungnya sudah tidak ada lagi,” ujarnya.

Meski demikian, kawasan yang sudah tidak sepenuhnya berfungsi lindung tersebut, bukanlah termasuk ke dalam kegiatan pemulihan.

Seperti kawasan HL dengan pola kombinasi tanaman hutan, tanaman pangan yang dikenal sebagai tanam wana tani, kombinasi tanaman hutan dengan hewan ternak atau wana ternak, dan kombinasi tanaman hutan dengan perikanan atau wana mina.

Tanaman hutan dengan kombinasi-kombinasi tersebut menurutnya dapat memperbaiki fungsi HL.

Ia mencontohkan, di Jawa Barat terdapat kawasan hutan lindung yang sudah menjadi areal kebun sayur, di Jawa Tengah, seperti di Dieng sebagian kawasan hutan lindung sudah menjadi areal kebun kentang.

Hal ini menurutnya dapat membahayakan fungsi pengatur tata air, pengendali erosi dan penjaga kesuburan tanah dari kawasan hutan lindung tersebut.

Secara profesional dan dalam perspektif pembangunan daerah, lanjutnya, pembangunan food estate semestinya dilihat sebagai wilayah perencanaan untuk tata guna lahan.

Karena di dalam perencanaan tata guna lahan, secara teknis dikenal pengelolaan secara multiguna dalam suatu wilayah.

Baca juga: Jokowi Genjot Pengerjaan Food Estate

Di dalam model pengembangan food estate selain untuk lahan pertanian berkelanjutan secara modern dan dengan intervensi teknologi tinggi (benih, pemupukan, tata air, sistem mekanisasi, pemasaran dll), juga mencakup pola kerja hutan sosial. Untuk itu kawasan hutan lindung yang akan digunakan sebagai areal food estate tidak harus dilakukan dengan pelepasan kawasan hutan, namun yang terpenting harus dilakukan di kawasan hutan lindung yang memenuhi syarat sebagai hutan lindung yang sudah tidak ada tegakkan pohonnya, atau fungsi hutan lindungnya sudah tidak ada lagi,” pungkasnya.

Related News